INGAR bingar politik menjelang Pemilihan Umum 2024 cukup melelahkan, ruang publik pengap dengan berita politik.
Bagi peminat, pengamat politik ini menjadi ladang analisis yang subur. Bagi politisi yang berebut kekuasaan di lembaga eksekutif dan legislatif, ini kompetisi demi elektabilitas dan popularitas.
Namun bagi rakyat, ini semacam panggung orkestrasi kepentingan demi dan untuk memuaskan hasrat politik mereka.
Kepentingan rakyat kerap hanya sebatas slogan. Hanya sebagian kecil seperti para aktivis dan pegiat Hak Asasi Manusia yang peduli persoalan Rampang, polusi yang kian membahayakan kesehatan masyarakat, korupsi semakin menggila, krisis air bersih di beberapa daerah, kemiskinan makin parah, pendidikan yang tidak memiliki orientasi masa depan, kondisi ekonomi belum stabil.
Para politisi kelihatannya tidak peduli semua itu, mereka hanya sibuk wara-wiri demi koalisi. Di atas panggung ada yang berjoget, di podium ada yang pantun, di jalanan menggema yel-yel; demi Indonesia maju, demi perubahan yang lebih baik.
Kadang panggung publik itu digunakan untuk berkelahi. Saling umpat, tuduhan pengkhianatan, kemunafikan dan omong kosong. Kerap menjadi pembicaraan yang dilontarkan dan dipertontonkan secara meluas.
Dari pemilu ke pemilu, politik hanya menyisahkan sandiwara elite dan rakyat yang terbelah. Musim pemilu ini berkoalisi, musim pemilu selanjutnya berkelahi dan itu terus terjadi. Semua hanya fatamorgana, pragmatisme politik sudah kian parah.
Partai-partai politik harus dituduh sebagai dalang kerusakan ini. Mereka mengabaikan pendidikan politik, mengabaikan prinsip politik dan moral dalam politik.
Partai politik pula yang membuat sistem pemilu yang sengaja menjebak diri mereka untuk terus menciptakan politik transaksional dan pragmatis.
Di partai politik, agenda kerakyatan hanya di atas mimbar dan podium. Di balik pidato dan yel-yel itu sesungguhnya politik adalah transaksi kepentingan “orang-orang atas”.
Setiap tahun partai politik sibuk mengurus elektabilitas, bahkan selesai pemilu para politisi sudah mulai sibuk dengan target elektoral.
Kapan para pejabat itu mengurus rakyat untuk memperoleh kehidupan layak, menjamin ketersediaan sandang, papan dan pangan dan memastikan keadilan untuk seluruh rakyat?
Mereka sibuk dengan dirinya sendiri, ribut dengan menyeret nama rakyat untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Tidak ada manfaatnya bagi rakyat, justru dari partai politik yang duduk di DPR keluar undang-undang yang menghantam rakyat.
Omnibus law UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan, dua contoh UU yang memangsa kepentingan rakyat.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.