Siapapun berhak bersuara keras, tapi berkewajiban untuk menjaga suara kerasnya itu agar tidak menyakiti telinga orang lain, apalagi sampai menyakiti hati orang lain.
Fenomena cebong-kampret dan kadrun, serta name-calling lainnya adalah pseudo demokrasi. Demokrasi yang kita bangga-banggakan selama ini hanya kuat pada tataran administrasitif, namun problematik pada tataran laku dan tindakan masyarakat.
Terutama juga lemah dalam “mengatur” laku para politisi di ruang publik.
Pemilihan umum yang didesain sebagai pesta demokrasi, hanya meriah pada tataran prosedural-administratif, sementara masyarakatnya terjebak dalam situasi saling “menyerang”, menghina, mencemooh, mencaci, dan sebagainya, di ruang publik.
Demokrasi memang memberikan ruang bagi kebebasan berbicara, tetapi dalam batas-batas keadaban publik. Demokrasi tidak menyuruh siapapun menggunakan “dirinya” sebagai kuda troya untuk tujuan menghina orang lain.
Saat deklarasi pasangan Anies-Amin, Surya Paloh memproklamirkan matinya “cebong-kampret”. Ini tentu kabar menggembirakan, sebab ada tokoh politik nasional yang menyatakan hal tersebut secara terbuka.
Namun, dalam kontestasi menuju 2024 nanti, Surya Paloh bukanlah aktor politik satu-satunya. Dia juga bukan godfather yang bisa mengontrol perilaku para politisi lain, sehingga mereka bisa bergerak menurut kehendak Paloh.
Di sisi lain, peserta pemilu adalah partai politik yang tentu tidak bisa juga dikontrol oleh Surya Paloh.
Upaya menghilangkan penggunaan cebong, kampret, dan kadrun, serta penyebutan-penyebutan lainnya harus menjadi gerakan bersama, terutama dilakukan oleh para elite politik, baik secara sendiri-sendiri (dalam bentuk komunikasi publiknya) atau pun secara kelompok (sebagai partai atau gabungan partai, tim sukses, dan sebagainya).
Para kandidat bacapres dan pasangan mereka nanti, harus juga mengambil komitmen untuk mereduksi produksi dan distribusi name-calling itu. Sebab, mereka yang akan menjadi sorotan masyarakat.
Apa yang mereka ucapkan, apa yang mereka lakukan, gesture mereka, segara akan menjadi wacana publik.
Para pendukung masing-masing akan dengan segera mereproduksi dan mendistribusikannya secara masif.
Selanjutnya, komitmen itu juga perlu diformalisasi dalam aturan-aturan oleh penyelenggara pemilu, dalam hal ini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta diawasi oleh Bawaslu/Panwaslu.
Tentu, tidak hanya berhenti pada upaya membatasi (syukur-syukur bisa dihilangkan) pelabelan dalam bahasa cebong, kampret, dan kadrun, tetapi juga pelabelan lain.
Jika pun, pelabelan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, oleh karena memanasnya suhu politik terutama saat kampanye, minimal name-calling bisa terlokalisasi pada aspek produsen dan sasarannya.
Artinya, name-calling dilokalisasi hanya menjadi komunikasi politik yang dilakukan antarsesama politisi atau kandidat yang bertarung dalam pemilu saja. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.