Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, bahkan makin menguat pada Pilpres 2019, name caling mengalami pergeseran sasaran.
Saat itu, muncul istilah Cebong (dari kata Kecebong) dan Kampret, serta Kadrun (dari akronim Kadal Gurun). Istilah ini diproduksi oleh masyarakat untuk menyerang satu sama lain.
Cebong, kampret, dan kadrun adalah pelabelan yang diproduksi oleh masyarakat dalam rangka mengasosiasikan “lawan” mereka dengan calon gubernur maupun calon presiden tertentu.
Di Pilkada DKI Jakarta, kelompok masyarakat pendukung pasangan Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Salahudin Uno (Anies-Sandi) menggunakan kata “cebong” untuk menyebut kelompok masyarakat yang mendukung pasangan Basuki Tjahaya Purnama – Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot).
Sebaliknya kelompok masyarakat pendukung Ahok-Djarot menggunakan istilah “kampret” dan “kadrun” untuk menyebut kelompok masyarakat pendukung Anies-Sandi.
Produksi name calling berupa cebong, kampret, dan kadrun tersebut makin menguat ketika masuk dalam pemilihan presiden 2019, yang mempertemukan duet Joko Widodo dan KH. Ma'aruf Amin (Jokowi–Amin) melawan Probawo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno (Prabowo–Sandi).
Cebong dialamatkan kepada pendukung Jokowi-Amin, sedangkan kadrun dan kampret diasosiasikan dengan pendukung Prabowo-Sandi.
Istilah cebong merujuk kepada jenis anak kodok, sedangkan istilah kampret merujuk kepada jenis anak kelelawar. Keduanya adalah nama-nama hewan.
Cebong dan kampret adalah komunikasi politik yang disematkan dari dan untuk masing-masing pendukung dengan makna yang terasosiasi dengan hewan.
Pelabelan itu tentu saja bukan bercandaan atau sekadar lucu-lucuan semata, melainkan lebih bermakna penghinaan.
Selain pelabelan-pelabelan itu, saling serang, saling ejek, saling hina, antarmasyarakat saat pilkada DKI Jakarta dan pilpres 2019 lalu, juga menggunakan istilah seperti “kaum bumi datar”, “mukidi”, “bani micin”, “kaum onta”, “kaum sumbu pendek”, dan lain sebagainya.
Pelabelan-pelabelan itu membanjiri berbagai media sosial, dan bahkan masih terlihat direproduksi hingga sekarang.
Produksi dan reproduksi name calling saat itu marak terjadi secara horisontal, antara masyarakat melawan masyarakat, yang kebetulan dalam pemilu presiden tersebut telah terbelah dalam dua kubu besar.
Produksi dan reproduksi name calling dalam bahasa cebong, kampret, dan kadrun, serta pelabelan lainnya, berlangsung secara terbuka di ruang-ruang publik.
Ikutannya adalah masyarakat saling memaki, menghina, menyerang secara negatif, dan sebagainya. Bahkan berimplikasi pada persekusi terhadap mereka yang dianggap bukan bagian dari kelompoknya.
Sebagai negara demokrasi, dukung-mendukung yang mengemuka dalam bentuk perang narasi, adalah hal yang normal.
Setiap orang di negara ini dijamin hak konstitusionalnya untuk bersuara, menyatakan pikiran dan pendapatnya di hadapan umum terkait berbagai hal.
Namun, demokrasi yang kita sepakati dalam konstitusi juga memberikan batasan-batasan sebagai bagian dari upaya menjamin hak orang lain.