Ketimpangan ekonomi dan kemiskinan menjadi ladang subur bagi politik uang. Saat ini, Indonesia adalah negara dengan tingkat politik uang nomor tiga tertinggi di dunia, hanya di bawah Uganda dan Benin (Burhanuddin Muhtadi, 2019).
Agak sulit berbicara persatuan nasional ketika politik hanya dikendalikan oleh segelintir orang dan rakyat banyak hanya jadi “yatim-piatu” politik.
Bangsa ini juga berhadap-hadapan dengan oligarki yang menguasai hampir semua lini kehidupan bernegara, bahkan melemahkan demokrasi dan prinsip negara hukum (rule of law).
Para oligark itu yang sekarang mengendalikan pembuatan UU, penerapan hukum, dan pengerahan aparatus negara.
Sementara rakyat banyak tak ubahnya “tuna-wisma” dalam politik negeri ini. Tidak pernah didengarkan, apalagi dilibatkan dalam proses pembuatan UU dan kebijakan politik lainnya.
Contoh terkini adalah kasus Rempang. Meski penduduk setempat sudah mendiami wilayah itu sejak abad ke-18, jauh sebelum Indonesia merdeka, tetapi dengan gampang mereka digusur paksa atas nama investasi.
kita mengarah pada era, meminjam istilah Chantal Mouffe, yang disebut “pasca-demokrasi”. Lembaga-lembaga politik semakin dikendalikan oleh segelintir orang, sementara rakyat banyak makin terkucilkan dari proses-proses politik. Pemilu tak lebih dari prosedur formal untuk menghasilkan pemimpin politik secara reguler.
Dan betapa garingnya seruan persatuan nasional ketika negara nyaris kering-kerontang akibat digerogoti korupsi, sementara sebagian besar pelakunya berbaris di belakang parpol-parpol yang berkoalisi.
Berdasarkan data ICW, ada 39 mantan napi korupsi yang diketahui mendaftarkan diri sebagai caleg di tingkat DPR, DPD, dan DPRD pada pemilu 2024.
Sementara, menurut KPU, ada 67 bekas narapidana, termasuk kasus korupsi, yang akan maju sebagai Wakil Rakyat di Pemilu 2024.
Hari ini, kita menjalani kehidupan berbangsa persis dengan nubuat Sukarno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Sebagian besar persoalan itu lahir dari struktur ekonomi maupun politik kita sejak lama. Seperti kesimpulan Vedi Hadiz dan Robison, oligarki tercipta dari perpaduan kepentingan politik-birokrasi dan bisnis besar yang sudah melekat dalam struktur ekonomi politik Indonesia era Orde Baru.
Oligarki juga ada kaitannya dengan struktur ekonomi ekstraktivisme, yaitu ekonomi yang bergantung pada eksploitasi SDA dan dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia, yang diwariskan sejak Hindia-Belanda.
Sebagian besar oligarki Indonesia, dari zaman Orde Baru hingga sekarang ini, tumbuh-besar dari sektor ekstraktif.
Dari 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, 19 orang di antaranya mengeruk kekayaan dari tiga bisnis ekstraktif: sawit, batubara, dan kayu.
Oiya, sistem ekonomi neoliberal, yang menjadi pakem kebijakan ekonomi pemerintah RI pascareformasi hingga sekarang, juga berkontribusi besar pada melebarnya ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.
Jadi, persatuan nasional yang dilantangkan para elite tak lebih dari politik konsensus untuk berbagi akses terhadap pada kekuasaan dan sumber daya negara untuk mengakumulasi kekayaaan.
Sementara bagi kita, seruan itu tak lebih dari persatean, karena hanya akan melanggengkan dominasi oligarki, korupsi, ketimpangan ekonomi, dan ancaman krisis ekologi.
Yang terjadi, seperti kritik keras Bung Hatta sekitar 91 tahun yang lalu: persatuan yang dicari, persatean yang didapat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.