Salin Artikel

Koalisi Pilpres: Persatuan atau Persatean?

Koalisi Indonesia Bersatu, yang dibangun oleh PPP, Golkar, dan PAN pada pertengahan Mei lalu, ternyata hanya seumur jagung.

Koalisi ini bubar setelah PPP berpindah haluan mendukung Ganjar Pranowo, sedangkan Golkar dan PAN menyeberang ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Hanya berselang dua minggu, KKIR juga mengalami dinamika. Tak lama setelah berganti nama menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang merupakan penggagas koalisi ini pada Agustus 2022, memilih hengkang ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan.

Di luar kalkulasi politik banyak pengamat politik, Muhaimin Iskandar alias Cak Imim dipinang sebagai cawapres untuk mendampingi Anies Baswedan pada pemilu 2024. Penunjukan Cak Imin sebagai cawapres menciptakan friksi di tubuh Koalisi Perubahan.

Partai Demokrat, yang menjadi penggagas koalisi ini, merasa terkhianati dan memutuskan untuk keluar dari koalisi. Belakangan, Demokrat merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Mengapa peta koalisi berubah sangat cepat? Mengapa partai politik gampang sekali berubah haluan dan mengubah dukungan politik? Apa sebetulnya basis politik dari koalisi ini?

Pijakan koalisi

Fenomena parpol dan elite yang gampang banting setir dari satu koalisi ke koalisi yang lain, tak ubahnya gaya sopir bajaj yang suka berbelok mendadak, menunjukkan persoalan mendasar dalam perpolitikan Indonesia.

Pertama, agenda politik parpol tidak berpijak di atas ide atau cita-cita politik untuk membangun kehidupan bernegara yang lebih baik, melainkan agenda sempit para elite parpol untuk berebut kontrol atau akses pada kekuasaan dan sumber daya negara.

Sejarah politik Indonesia sejak Orde Baru memang identik dengan fusi antara kekuatan ekonomi dan politik dalam menjalankan proses akumulasi kekayaan.

Akses dan kontrol terhadap jabatan publik dan otoritas negara menjadi penentu utama bagaimana kekayaan pribadi diakumulasi dan didistribusikan (Robison dan Vedi Hadiz, 2004).

Karena itu, preferensi politik para elite dalam menentukan koalisi adalah memilih kubu yang paling berpotensi untuk menang. Jangan heran juga, parpol di Indonesia tidak pernah nyaman berada di luar kekuasaan.

Jadi, kalau oposisi tiba-tiba masuk dalam kekuasaan, jangan terburu-buru dirayakan sebagai “persatuan nasional”, tetapi boleh jadi hanya soal mendekati akses kekuasaan dan sumber daya negara sebagai pintu masuk menuju akumulasi kekayaan.

Partai-partai bersatu dan bercerai karena soal pembagian jatah kekuasaan dan akses terhadap sumber-daya.

Di Indonesia, setidaknya sejak Orde Baru hingga sekarang, belum pernah koalisi bubar karena berselisih soal kebijakan atau program.

Ini juga berkonsekuensi pada cita-rasa retorika politik yang mereka umbar. Yang kerap terjadi, retorika bisa berubah cepat karena koalisi-koalisi politik cenderung dibentuk berdasarkan pertimbangan kontrol dan akses pada sumber daya publik.

Kedua, proses penentuan kebijakan partai, termasuk soal koalisi, hanya diputuskan sepihak oleh pimpinan partai.

Di Indonesia, hampir tidak ada partai yang punya mekanisme internal yang demokratis. Biasanya, mekanisme pelibatan struktur bawah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam pengambilan keputusan, seperti kongres maupun rapimnas, tak lebih sebagai prosedur formal agar terkesan demokratis.

Biasanya, forum kongres atau rapimnas akan memberi mandat kepada ketua umum atau DPP untuk memutuskan capres-cawapres yang didukung.

Ujung-ujungnya, urusan capres-cawapres semata menjadi urusan elite partai, sementara dinamika politik dan aspirasi arus bawah bisa berbeda.

Persatuan atau Persatean?

Di negeri ini, ada dua isu yang paling laris dalam pasar politik: nasionalisme dan agama. Terkadang dipilih salah satu, tetapi juga sering juga dipakai bersamaan.

Tidak mengherankan, para capres sibuk berebut situs-situs sejarah yang bisa melambungkan kesan nasionalistik: ada yang deklarasi koalisi di Museum Naskah Proklamasi, sementara yang lain deklarasi di Hotel Yamato Surabaya.

Dalam tarikan napas yang sama, para capres itu berseru-seru soal pentingnya persatuan nasional, sembari mengarahkan telunjuk pada faktor situasi global sebagai biang masalah yang harus dihadapi bersama-sama.

Narasi persatuan nasional mengandaikan persoalan bangsa akibat faktor eksternal. Dengan demikian, batas politiknya (political frontiers) adalah faktor eksternal versus kepentingan nasional. Batas politik ini yang mendefinisikan siapa “kawan” dan “lawan”.

Masalahnya, bagaimana kepentingan nasional didefinisikan dan sejauh mana kepentingan itu mewakili kehendak kolektif bangsa?

Agak sulit berseru-seru persatuan nasional di atas realitas ketimpangan ekonomi yang menganga lebar. Pada 2017, Credit Suisse menyebut ketimpangan di Indonesia peringkat keempat di dunia, dengan 1 persen penduduk terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.

Kekayaan 4 orang terkaya indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin (Oxfam, 2017). Kekayaan 10 persen orang terkaya setara dengan 75,3 persen penduduk dewasa (Global Wealth Report 2018).

Ketimpangan membuat bangsa ini terbelah secara ekonomi dan kehidupan sosialnya. Mirip dengan ungkapan puitis Damian Barr: kita semua dalam badai yang sama, tetapi tidak berada di atas kapal yang sama.

Segelintir berada di dalam kapal pesiar mewah, sementara yang lain di atas perahu dayung.

Paus Fransiskus menyebut ketimpangan sebagai “penyakit sosial”. Selain itu, ketimpangan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan menjadi api dalam sekam yang bisa menyulut konflik.

Ketimpangan ekonomi dan kemiskinan menjadi ladang subur bagi politik uang. Saat ini, Indonesia adalah negara dengan tingkat politik uang nomor tiga tertinggi di dunia, hanya di bawah Uganda dan Benin (Burhanuddin Muhtadi, 2019).

Agak sulit berbicara persatuan nasional ketika politik hanya dikendalikan oleh segelintir orang dan rakyat banyak hanya jadi “yatim-piatu” politik.

Bangsa ini juga berhadap-hadapan dengan oligarki yang menguasai hampir semua lini kehidupan bernegara, bahkan melemahkan demokrasi dan prinsip negara hukum (rule of law).

Para oligark itu yang sekarang mengendalikan pembuatan UU, penerapan hukum, dan pengerahan aparatus negara.

Sementara rakyat banyak tak ubahnya “tuna-wisma” dalam politik negeri ini. Tidak pernah didengarkan, apalagi dilibatkan dalam proses pembuatan UU dan kebijakan politik lainnya.

Contoh terkini adalah kasus Rempang. Meski penduduk setempat sudah mendiami wilayah itu sejak abad ke-18, jauh sebelum Indonesia merdeka, tetapi dengan gampang mereka digusur paksa atas nama investasi.

kita mengarah pada era, meminjam istilah Chantal Mouffe, yang disebut “pasca-demokrasi”. Lembaga-lembaga politik semakin dikendalikan oleh segelintir orang, sementara rakyat banyak makin terkucilkan dari proses-proses politik. Pemilu tak lebih dari prosedur formal untuk menghasilkan pemimpin politik secara reguler.

Dan betapa garingnya seruan persatuan nasional ketika negara nyaris kering-kerontang akibat digerogoti korupsi, sementara sebagian besar pelakunya berbaris di belakang parpol-parpol yang berkoalisi.

Berdasarkan data ICW, ada 39 mantan napi korupsi yang diketahui mendaftarkan diri sebagai caleg di tingkat DPR, DPD, dan DPRD pada pemilu 2024.

Sementara, menurut KPU, ada 67 bekas narapidana, termasuk kasus korupsi, yang akan maju sebagai Wakil Rakyat di Pemilu 2024.

Hari ini, kita menjalani kehidupan berbangsa persis dengan nubuat Sukarno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Sebagian besar persoalan itu lahir dari struktur ekonomi maupun politik kita sejak lama. Seperti kesimpulan Vedi Hadiz dan Robison, oligarki tercipta dari perpaduan kepentingan politik-birokrasi dan bisnis besar yang sudah melekat dalam struktur ekonomi politik Indonesia era Orde Baru.

Oligarki juga ada kaitannya dengan struktur ekonomi ekstraktivisme, yaitu ekonomi yang bergantung pada eksploitasi SDA dan dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia, yang diwariskan sejak Hindia-Belanda.

Sebagian besar oligarki Indonesia, dari zaman Orde Baru hingga sekarang ini, tumbuh-besar dari sektor ekstraktif.

Dari 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, 19 orang di antaranya mengeruk kekayaan dari tiga bisnis ekstraktif: sawit, batubara, dan kayu.

Oiya, sistem ekonomi neoliberal, yang menjadi pakem kebijakan ekonomi pemerintah RI pascareformasi hingga sekarang, juga berkontribusi besar pada melebarnya ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.

Jadi, persatuan nasional yang dilantangkan para elite tak lebih dari politik konsensus untuk berbagi akses terhadap pada kekuasaan dan sumber daya negara untuk mengakumulasi kekayaaan.

Sementara bagi kita, seruan itu tak lebih dari persatean, karena hanya akan melanggengkan dominasi oligarki, korupsi, ketimpangan ekonomi, dan ancaman krisis ekologi.

Yang terjadi, seperti kritik keras Bung Hatta sekitar 91 tahun yang lalu: persatuan yang dicari, persatean yang didapat.

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/20/08430671/koalisi-pilpres-persatuan-atau-persatean

Terkini Lainnya

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

Nasional
Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Nasional
Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Nasional
Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Nasional
Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

Nasional
Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Nasional
Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Nasional
Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Nasional
Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Nasional
Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke