Ini juga berkonsekuensi pada cita-rasa retorika politik yang mereka umbar. Yang kerap terjadi, retorika bisa berubah cepat karena koalisi-koalisi politik cenderung dibentuk berdasarkan pertimbangan kontrol dan akses pada sumber daya publik.
Kedua, proses penentuan kebijakan partai, termasuk soal koalisi, hanya diputuskan sepihak oleh pimpinan partai.
Di Indonesia, hampir tidak ada partai yang punya mekanisme internal yang demokratis. Biasanya, mekanisme pelibatan struktur bawah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam pengambilan keputusan, seperti kongres maupun rapimnas, tak lebih sebagai prosedur formal agar terkesan demokratis.
Biasanya, forum kongres atau rapimnas akan memberi mandat kepada ketua umum atau DPP untuk memutuskan capres-cawapres yang didukung.
Ujung-ujungnya, urusan capres-cawapres semata menjadi urusan elite partai, sementara dinamika politik dan aspirasi arus bawah bisa berbeda.
Di negeri ini, ada dua isu yang paling laris dalam pasar politik: nasionalisme dan agama. Terkadang dipilih salah satu, tetapi juga sering juga dipakai bersamaan.
Tidak mengherankan, para capres sibuk berebut situs-situs sejarah yang bisa melambungkan kesan nasionalistik: ada yang deklarasi koalisi di Museum Naskah Proklamasi, sementara yang lain deklarasi di Hotel Yamato Surabaya.
Dalam tarikan napas yang sama, para capres itu berseru-seru soal pentingnya persatuan nasional, sembari mengarahkan telunjuk pada faktor situasi global sebagai biang masalah yang harus dihadapi bersama-sama.
Narasi persatuan nasional mengandaikan persoalan bangsa akibat faktor eksternal. Dengan demikian, batas politiknya (political frontiers) adalah faktor eksternal versus kepentingan nasional. Batas politik ini yang mendefinisikan siapa “kawan” dan “lawan”.
Masalahnya, bagaimana kepentingan nasional didefinisikan dan sejauh mana kepentingan itu mewakili kehendak kolektif bangsa?
Agak sulit berseru-seru persatuan nasional di atas realitas ketimpangan ekonomi yang menganga lebar. Pada 2017, Credit Suisse menyebut ketimpangan di Indonesia peringkat keempat di dunia, dengan 1 persen penduduk terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Kekayaan 4 orang terkaya indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin (Oxfam, 2017). Kekayaan 10 persen orang terkaya setara dengan 75,3 persen penduduk dewasa (Global Wealth Report 2018).
Ketimpangan membuat bangsa ini terbelah secara ekonomi dan kehidupan sosialnya. Mirip dengan ungkapan puitis Damian Barr: kita semua dalam badai yang sama, tetapi tidak berada di atas kapal yang sama.
Segelintir berada di dalam kapal pesiar mewah, sementara yang lain di atas perahu dayung.
Paus Fransiskus menyebut ketimpangan sebagai “penyakit sosial”. Selain itu, ketimpangan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan menjadi api dalam sekam yang bisa menyulut konflik.