TULISAN ini saya tujukan untuk mengurai rumus matematika politisi yang terlampau optimistis saat merespons isu menguatnya potensi Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan dalam satu pelaminan di panggung Pilpres 2024.
Seperti pernyataan Ketua DPP PDI-P Said Abdullah, yang disambut optimistis Ketum Nasdem Surya Paloh, juga diamini banyak pengamatan politik yang loncat kesimpulan seakan-akan cerita Pilpres selesai dalam duet tersebut.
Saya menduga kesimpulan itu didapat sesederhana hitungan penambahan elektabilitas Ganjar digabungkan dengan elektabilitas Anies.
Meski sama-sama mengandalkan kalkulasi, ketika matematika merangsek masuk ke alam politik, model matematikanya tidak lagi sederhana layaknya penjumlahan elektabilitas.
Jika merujuk survei teranyar LSI Denny JA, elektabilitas Ganjar 35,3 persen ditambahkan suara Anies 18,4 persen, maka hasil akhirnya 53,9 persen.
Dalam matematika politik, hasil bisa berbeda. Bisa melebihi angka tersebut, bisa juga kurang dari itu. Bahkan, bisa lebih kecil dari modal awal elektabilitas masing-masing kandidat.
Sejatinya meski matematika ilmu pasti, tetapi dalam politik dan kekuasaan, kalkulasinya penuh dengan ketidakpastian.
Model matematika politik berhubungan dengan irisan suara dan sentimen pendukung. Kalkulasi penyatuan sangat tidak sederhana karena setiap calon memiliki ceruk pemilih yang berbeda secara sosiologis, psikologis, dan rasional.
Tidak sesederhana penambahan lima ditambah lima hasilnya 10. Pemilih Ganjar berbeda dengan Anies. Itu matematika ambyar karena mengesampingkan preferensi dari masing-masing pendukung.
Secara irisan, pemilih Ganjar dan Anies berada pada dua kutup politik berbeda. Dua kutup itu lebih besar daya tolak ketimbang daya tarik.
Daya tolak pertama adalah posisi asosiatif Ganjar yang mendompleng tingginya approval rating Jokowi yang dalam survei di atas 80 persen. Sedangkan Anies lebih asosiatif sebagai antitesis Jokowi.
Jika kita berandai niat penyatuan ini didasarkan pada goyahnya dukungan Jokowi ke Ganjar, maka posisi tawar Anies lebih diuntungkan karena telah membuka front lebih awal ketimbang Ganjar yang perlu prakondisi untuk mendadak berlawanan dengan Jokowi.
Kedua, secara ideologis dan emosional, menurut penulis, preferensi pemilih Ganjar–Anies terbentang dalam spektrum berseberang.
Satu pihak berada pada sumbu nasionalis cenderung kearah ultra nasional, sedangkan pemilih satunya cenderung kanan dalam mengapitalisasi politik identitas.
Di sisi lain, penyatuan dapat membuka lonjakan suara karena efek ikut-ikutan (bandwagon effect). Namun, lonjakannya tidak selalu positif, tetapi memiliki dua muara negatif.