“Kami di DPD RI menyambut baik kehendak MPR RI untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan sistem bernegara kita, sebagai sebuah jalan keluar untuk memberikan ruang bagi bangsa dan negara ini untuk merajut mimpi bersama,” kata dia.
Wacana amendemen UUD 1945 bukan sekali ini saja bergulir. Gagasan tersebut berulang kali disuarakan dengan sejumlah alasan.
Terkait PPHN, misalnya, telah digembar-gemborkan Ketua MPR sejak 2020 lalu. Bamsoet mengusulkan pembentukan PPHN lewat amendemen UUD 1945 secara terbatas.
Menurutnya, ketiadaan PPHN menyebabkan bangsa kehilangan arah dalam mencapai cita-cita. Padahal, dahulu Indonesia memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Ketiadaan PPHN dalam konstitusi, dirasakan telah membuat bangsa ini kehilangan arah dalam mencapai tujuan sebagai bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur," kata Bamsoet dalam Peringatan Hari Konstitusi, Selasa (18/8/2020).
Baca juga: Ketua MPR: Pembahasan PPHN Seyogianya Dilakukan Setelah Pemilu 2024
Meski menuai pro dan kontra, gagasan tersebut terus digulirkan Bamsoet. Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu mengeklaim bahwa Presiden Joko Widodo setuju amendemen UUD 1945 dilakukan secara terbatas untuk mengakomodir PPHN.
"Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR RI mengenai pembahasan amendemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN. Karena merupakan domain dari MPR RI,” katanya dalam keterangan yang diterima, Sabtu (14/8/2021).
Namun, pada akhirnya, MPR sepakat tidak akan melakukan amendemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN, setidaknya selama periode pemerintahan 2019-2024.
Kesepakatan ini diambil melalui rapat gabungan secara tertutup antara pimpinan MPR dan Badan Pengkajian MPR di Gedung MPR, Jakarta, Kamis (7/7/2022).
“Menghadirkan PPHN melalui Tap MPR dengan perubahan terbatas UUD 1945 atau amendemen yang selama ini dicurigai, ditunggangi perubahan jabatan presiden, saat ini sulit untuk kita realisasikan,” kata Bamsoet di Gedung MPR.
Baca juga: Menelaah Bahaya di Balik Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Sebelum itu, gagasan perbaikan UUD 1945 juga sempat mencuat karena adanya usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana ini mengemuka pada awal masa pemerintahan Jokowi periode kedua.
Saat itu, ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi 8 tahun dalam satu periode. Ada pula yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi 4 tahun dan bisa dipilih sebanyak 3 kali.
Usul lainnya, masa jabatan presiden menjadi 5 tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak 3 kali.
Kala itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebut, dorongan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode diusulkan oleh Fraksi Nasdem di DPR. Padahal, menurutnya, mayoritas fraksi menolak usulan amendemen terkait perpanjangan masa jabatan serta perubahan cara pemilihan presiden.
“Untuk masa jabatan tiga periode itu yang paling mendorong Nasdem,” kata Hidayat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2019).
Namun, sejumlah kader Nasdem membantah tudingan tersebut. Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya, misalnya, menyebut bahwa partainya hanya menangkap aspirasi publik perihal masa jabatan presiden.
"Kami enggak ada. Kami enggak dorong tiga periode. Belum ada keputusan soal itu. Nasdem menangkap itu adalah aspirasi publik, lalu ayo didiskusikan secara terbuka," ujar Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2019).
Ketika itu, Jokowi merespons keras isu tersebut. Dengan lantang ia mengatakan tidak setuju pada usul perpanjangan masa jabatan presiden.
Mantan Wali Kota Solo itu bahkan curiga ada pihak yang ingin menjerumuskannya dengan mengusulkan wacana tersebut.
"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Desember 2019.