Mendalam sekali makna ajaran tersebut. Saya kira tepat sekali dijadikan peringatan/rujukan menghadapi dinamika politik menjelang Pemilu 2024.
Pemilu sejatinya bukanlah tujuan. Pemilu hanyalah salah satu jalan demokrasi.
Bagi bangsa Indonesia, jalan demokrasi itu dipilih agar kekuasaan dapat diwajibkan terbuka dan bertanggung jawab.
Agar kekuasaan diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara menegaskan hal tersebut. Demokrasi tidak cukup dijalankan pada bidang politik. Demokrasi harus menjamin kesejahteraan rakyat. Tak ada gunanya pemilu sukses tanpa membuahkan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks jalan demokrasi itu partai politik (parpol) adalah sokoguru, pilar utama. Lewat parpol rakyat berhimpun secara politik.
Lewat parpol pula rakyat memberikan suara dalam pemilu untuk memilih pemimpinnya. Lewat kader-kader parpol di legislatif pula rakyat menyalurkan aspirasi. Melalui kader-kader parpol di pemerintahan pula kebijakan-kebijakan publik dibuat dan diputuskan.
Karena itu, mestinya para aktor politik patuh memperkuat jalan demokrasi secara institusional sesuai aturan main.
Parpol harus terus diperkuat agar mampu menjalankan fungsi pelembagaan politik rakyat. Meski praktiknya ada saja jalan di luar institusi, misalnya, dalam pemilu muncul kelompok relawan.
Namun, politik, lebih khusus lagi pemilu, dalam perspektif Serat Kalatidha, akan dibaca secara pragmatis sekadar mekanisme perebutan kekuasaan.
Para aktor mengkalkulasi diri dan lawan. Pasang strategi dan taktik untuk saling mengalahkan, yang tak jarang kotor dan licik. Seolah-olah kekuasaan harus diraih dan dipertahankan dengan cara kotor dan licik, “zaman edan”.
Salah satu isu krusial yang menandai “zaman edan” dalam konteks pemilu adalah soal politik uang. Isu ini pula yang membuat politik terkesan kotor, berbiaya tinggi, yang berujung pada korupsi, bahkan dengan menyandera negara.
Melalui kolom berjudul “Suara Pemilih Tidak Gratis” (Kompas.com, 30/06/2023), saya mengingatkan bahwa pemimpin yang mendapatkan dukungan rakyat “berhutang” kepada rakyat. Mereka harus “melunasi” melalui kebijakan yang membela dan menguntungkan rakyat.
Sementara isu krusial lain adalah konten-konten hoaks, provokatif, dan segenap literasi media sosial lain yang cenderung manipulatif, asal bunyi, kampanye negatif, bahkan adu domba. Konten-konten negatif seperti itu diproduksi untuk menjatuhkan kompetitor.
Berawal dari pertarungan dunia maya, bukan tak mungkin akan berlanjut pada dunia nyata. Tentu saja sangat jauh dari tujuan pemilu.
Pemilu sebagai jalan demokrasi sejatinya penuh harapan. Ajaran “eling lan waspada” dapat menjadi rujukan untuk mengigatkan tujuan pemilu yang sesungguhnya.
Ajaran yang dirumuskan dalam Serat Kalatidha itu juga membangkitkan semangat dan upaya nyata secara bersama untuk mengubah perspektif kontestasi politik dari perlawanan menjadi perkawanan (persaingan dalam perkawanan), perpecahan/pembelahan menjadi persatuan/penyatuan.
Ajaran itu juga mengembangkan model politik merangkul, bukan memukul. Dalam konteks Indonesia, ajaran itu mengingatkan dan menyadarkan tentang politik kerakyatan yang berkeadaban, yang mengundang partisipasi warga negara dengan kesadaran penuh untuk menyempurnakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atas dasar Pancasila.
Seberuntung-beruntungnya yang lupa, masih beruntung yang sadar dan waspada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.