Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM Belum Bisa Sebut Peristiwa Kudatuli sebagai Pelanggaran HAM Berat

Kompas.com - 28/07/2023, 23:11 WIB
Singgih Wiryono,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum bisa menyatakan peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli, sebagai kasus pelanggaran HAM Berat.

Meskipun, sudah banyak indikasi terkait peristiwa itu yang mengarah pada unsur pelanggaran HAM berat.

"Kita tidak bisa juga mengatakan bahwa 'wah ini sudah ada indikasi pelanggaran HAM berat'. Kita belum sampai ke sana," ujar Komisioner Komnas HAM Abdul Haris Semendawai saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jumat (28/7/2023).

Pria yang akrab disapa Dawai itu mengatakan, beberapa informasi yang diterima Komnas HAM dari diskusi publik pada Kamis (27/7/2023) kemarin, baru data permukaan saja.

Baca juga: Komnas HAM Diminta Kembali Dalami dan Bentuk Tim Penyelidikan Peristiwa Kudatuli

Ia mengungkapkan, Komnas HAM saat ini akan mencari bukti-bukti yang disampaikan para narasumber diskusi publik memperingati peristiwa Kudatuli tersebut.

"Kita masih melakukan pendalaman lebih lanjut, setelah pendalaman baru kita akan selesaikan laporan dengan sejumlah rekomendasi," kata Abdul Haris Semendawai.

Menurutnya, Komnas HAM akan melanjutkan tindakan sampai pada pembentukan tim Ad Hoc jika terbukti benar adanya dugaan pelanggaran HAM berat.

Tim itu nantinya akan memutuskan apakah peristiwa itu termasuk dalam pelanggaran HAM berat atau tidak.

Baca juga: Soal Peristiwa Kudatuli, Eks Ketua Komnas HAM: Diduga Penuhi Pelanggaran HAM Berat

Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2007-2012 Ifdhal Kasim mengatakan, peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli sudah memenuhi unsur pelanggaran HAM berat.

Ia menyebut, jika dibaca dalam konteks Undang-Undang Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000 dan konteks hukum pidana internasional, Kudatuli sudah termasuk dalam kejahatan kemanusiaan.

"Itu terlihat sudah terpenuhi untuk diduga ada pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa ini," katanya dalam acara diskusi pubilk Komnas HAM secara daring, Kamis (27/7/2023).

Catatan Komnas HAM yang pernah dikeluarkan 12 Oktober 1996 menilai terjadi enam pelanggaran HAM dari kasus itu.

Di antaranya, pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, serta pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi.

Baca juga: Peringati 27 Tahun Kudatuli, Ribka Tjiptaning Ajak Semua Pihak Tak Pilih Capres Berlumuran Darah

Kemudian, ada juga pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.

"Dari laporan Komnas HAM itu, sebetulnya sudah bisa dilihat terjadi pelanggaran HAM (yang berat)," ujar Ifdhal.

Ditambah lagi, menurutnya, ada bukti keterkaitan penyerangan secara sistematis yang diungkap Komnas HAM dalam peristiwa itu.

Namun, pada saat itu, belum ada istilah pelanggaran HAM yang berat sehingga tidak ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Baca juga: PDI-P Akan Bentuk Tim Hukum, Buka Kembali Bukti Kasus Kudatuli

Kudatuli adalah Peristiwa Penyerangan 27 Juli 1996 yang ditandai dengan penyerbuan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta.

Saat itu, kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya 1993, diserbu oleh kelompok pendukung Soerjadi Ketua Umum PDI versi Kongres Medan 1996.

Kelompok Soerjadi yang diduga mendapat "beking" kekuasaan turut dikawal ratusan aparat kepolisian.

Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM yang diterbitkan pada 31 Agustus dan 12 Oktober 1996, tercatat lima orang tewas, 149 cedera dari kedua belah pihak, serta sebanyak 23 orang hilang akibat peristiwa tersebut.

Baca juga: 27 Tahun Kudatuli, Amnesty Internasional: Mengapa Belum Juga Diusut Tuntas?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Nasional
Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Nasional
Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Nasional
Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Nasional
Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Nasional
MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke 'Crazy Rich Surabaya'

MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke "Crazy Rich Surabaya"

Nasional
Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Nasional
Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Nasional
BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

Nasional
Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Nasional
Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para 'Sesepuh'

Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para "Sesepuh"

Nasional
Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Nasional
Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com