Apalagi, kata AHY, sebagian proyek itu tidak berdampak langsung pada kehidupan dan kesejahteraan rakyat yang tengah mengalami tekanan. Dengan situasi demikian, menurutnya, pembangunan infrastruktur masih bisa ditunda.
Dia berpendapat, pemerintah tidak sensitif. Pemerintah juga dinilai kurang berpihak kepada 100 juta lebih rakyat yang sedang mengalami kesulitan hidup.
Menurut AHY, ketika terjadi krisis dan tekanan ekonomi, prioritas dana alokasi anggaran negara seharusnya diarahkan untuk meringankan penderitaan rakyat, utamanya para petani, nelayan, kaum buruh, dan golongan lemah lainnya.
“Karena itu, sulit diterima akal sehat, saat ekonomi tertekan pandemi, alokasi APBN untuk infrastruktur justru lebih besar dibanding anggaran kesehatan. Seolah proyek infrastruktur diutamakan, sedangkan nasib rakyat diabaikan,” ujarnya.
Memang, kata AHY, infrastuktur juga penting. Namun, demikian, menurutnya, perlu dilakukan perubahan dan perbaikan atas kebijakan pembangunan infrastruktur ini.
Paling penting, kata AHY, pertumbuhan ekonomi harus dirasakan seluruh rakyat, bukan segelintir kelompok saja. Diperlukan pemikiran yang rasional dan arif dalam penentuan prioritas serta pengelolaan anggaran negara.
“Lebih baik kita fokus pada peningkatan penghasilan dan daya beli rakyat agar ekonomi terus bergerak dan tetap tumbuh. Kalau ekonomi tumbuh, penerimaan negara juga akan meningkat, pengangguran dan kemiskinan akan berkurang,” tutur putra sulung SBY itu.
Ihwal penegakan hukum di Indonesia juga turut disoroti AHY. Menurutnya, selama sembilan tahun pemerintahan Jokowi, kerap kali terjadi ketidakadilan hukum.
“Demokrat mencermati, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dinilai sering tebang pilih. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tajam ke lawan, tumpul ke kawan,” kata AHY.
Menurut AHY, keadilan harusnya berlaku bagi semua, baik keadilan sosial ekonomi, politik, penegakan hukum, serta keadilan untuk rakyat kecil dan kaum lemah. Namun, kerap kali, respons negara terhadap para pencari keadilan sering berbeda, bergantung posisi politik yang bersangkutan.
“Praktik ini merusak keadilan, etika pemerintahan, dan nilai demokrasi,” ujarnya.
Baca juga: Saat Jokowi Jawab Kekhawatiran SBY soal Cawe-cawe pada Pemilu 2024...
AHY mengatakan, pemerintah mestinya menjamin penegakan hukum, termasuk
pemberantasan korupsi, dilaksanakan secara adil dan tidak tebang pilih. Penyalahgunaan kekuasaan harus dicegah, penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan politik mesti dihentikan.
“Ingat, ketidakadilan adalah sumber utama dari semua permasalahan,” tuturnya.
AHY juga menyinggung niat pemimpin negara untuk "cawe-cawe" pada Pemilu 2024. Ia menilai, cawe-cawe itu bisa mengancam iklim demokrasi di Tanah Air.
“Tentu banyak yang bertanya, kalau ada niat cawe-cawe pemimpin negeri dalam Pemilu 2024, kalau cawe-cawe itu melibatkan instrumen kekuasaan negara dan dinilai tidak adil, jelas nasib demokrasi kita dalam bahaya,” ujarnya.
Menurut dia, salah satu masalah dalam pemerintahan Jokowi adalah kebebasan berpendapat. Pasalnya, banyak yang takut bersikap kritis karena khawatir diserang pihak prorezim.
Baca juga: Nasdem Yakin Demokrat Tak Akan Tinggalkan Koalisi Perubahan, Sebut Ada SBY dan AHY
“Kini, rakyat takut bicara. Kalangan elite dan golongan menengah juga enggan bicara karena khawatir bakal ‘diserang’ secara membabi buta,” kata AHY.
“Lawan politik penguasa diidentikan sebagai musuh negara. Netralitas dan independensi kekuasaan negara dipertanyakan,” lanjutnya.
AHY pun mengingatkan agar pemerintah menjamin kebebasan demokrasi dan etika berpolitik agar tidak menyimpang dari konstitusi. Dia mengaku tidak ingin demokrasi mengalami kemunduran sehingga bisa memicu perpecahan di masyarakat.