Salin Artikel

"Serangan" Tajam AHY ke Pemerintahan Jokowi Usai Demokrat Mesra dengan PDI-P...

JAKARTA, KOMPAS.com - Lagi-lagi, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melempar kritikan tajam ke pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dalam pidato politiknya, Jumat (14/7/2023), AHY banyak bicara soal ekonomi negara yang menurutnya terus mengalami penurunan. Dia juga menyinggung tentang utang pemerintah yang terus meroket.

Bahkan, AHY turut menyoroti isu hukum dan demokrasi. Termasuk, menyentil Jokowi yang sempat terang-terangan cawe-cawe dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.

Kritik pedas AHY ke Jokowi itu dilontarkan tak lama setelah dirinya memperlihatkan kemesraan dengan partai penguasa, PDI Perjuangan.

Ketua DPP PDI-P Puan Maharani belum lama ini menyebut nama AHY dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) pendamping bakal capres PDI-P, Ganjar Pranowo. Kedua elite partai juga sempat menggelar pertemuan pada pertengahan Juni lalu.

Bahkan, dari pertemuan tersebut, mencuat isu rekonsiliasi antara dua petinggi partai, Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Namun, toh setelah kehangatan itu, Demokrat tak surut menyentil kinerja penguasa. 

Ekonomi rendah, utang meroket

Dalam pidatonya, AHY keras mengatakan bahwa terjadi kemunduran ekonomi dalam 9 tahun terakhir. Menurutnya, angka pertumbuhan ekonomi tak seperti yang dijanjikan pemerintah.

“Meskipun ada capaian, tetapi harus kita akui secara jujur, 9 tahun terakhir ini terjadi sejumlah kemandegan, dan bahkan kemunduran serius,” kata AHY.

“Pertumbuhan ekonomi menurun, jauh di bawah yang dijanjikan, 7 persen hingga 8 persen. Pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen, bahkan sempat anjlok ketika diterjang pandemi Covid-19,” tuturnya.

Atas situasi tersebut, AHY menyebut, penghasilan dunia usaha dan kesejahteraan rakyat terpukul. Daya beli golongan menengah ke bawah menurun, angka kemiskinan dan pengangguran meningkat.

Pada saat ekonomi melemah, utang pemerintah melonjak. Akibat utang yang meroket, kinerja sejumlah BUMN pun menurun, jauh di bawah sasaran.

“Ketika ekonomi tumbuh rendah, yang meroket justru utang kita, baik utang pemerintah maupun BUMN,” ucapnya.

Per Maret 2023, sebut AHY, utang pemerintah mencapai lebih dari Rp 7.800 triliun. Akibatnya, porsi APBN untuk membayar cicilan dan bunga semakin besar.

AHY mengatakan, pemerintah tidak boleh selalu berdalih bahwa “rasio utang terhadap PDB” masih aman karena kurang dari 60 persen. Sebab, kemampuan fiskal pemerintah untuk membayar utang terbilang rendah dan membebani APBN.

Oleh karenanya, harus segera dilakukan pembatasan dan kontrol terhadap utang pemerintah serta BUMN. Sebab, katanya, banyak negara gagal akibat utang yang ugal-ugalan.

“Kita harus menghentikan utang pemerintah dan utang BUMN yang terlalu besar. Banyak negara yang perekonomiannya jatuh dan mengalami krisis hebat karena jebakan utang,” kata AHY.

Infrastruktur

AHY juga menyoroti pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan Jokowi. Dia heran pemerintah membangun infrastruktur secara besar-besaran ketika situasi ekonomi negara sedang tidak baik-baik saja.

“Sulit dimengerti, ketika ekonomi menurun, kekuatan fiskal melemah, utang tinggi, pemerintah justru membangun infrastruktur secara besar-besaran,” katanya.

Apalagi, kata AHY, sebagian proyek itu tidak berdampak langsung pada kehidupan dan kesejahteraan rakyat yang tengah mengalami tekanan. Dengan situasi demikian, menurutnya, pembangunan infrastruktur masih bisa ditunda.

Dia berpendapat, pemerintah tidak sensitif. Pemerintah juga dinilai kurang berpihak kepada 100 juta lebih rakyat yang sedang mengalami kesulitan hidup.

Menurut AHY, ketika terjadi krisis dan tekanan ekonomi, prioritas dana alokasi anggaran negara seharusnya diarahkan untuk meringankan penderitaan rakyat, utamanya para petani, nelayan, kaum buruh, dan golongan lemah lainnya.

“Karena itu, sulit diterima akal sehat, saat ekonomi tertekan pandemi, alokasi APBN untuk infrastruktur justru lebih besar dibanding anggaran kesehatan. Seolah proyek infrastruktur diutamakan, sedangkan nasib rakyat diabaikan,” ujarnya.

Paling penting, kata AHY, pertumbuhan ekonomi harus dirasakan seluruh rakyat, bukan segelintir kelompok saja. Diperlukan pemikiran yang rasional dan arif dalam penentuan prioritas serta pengelolaan anggaran negara.

“Lebih baik kita fokus pada peningkatan penghasilan dan daya beli rakyat agar ekonomi terus bergerak dan tetap tumbuh. Kalau ekonomi tumbuh, penerimaan negara juga akan meningkat, pengangguran dan kemiskinan akan berkurang,” tutur putra sulung SBY itu.

Hukum tak adil

Ihwal penegakan hukum di Indonesia juga turut disoroti AHY. Menurutnya, selama sembilan tahun pemerintahan Jokowi, kerap kali terjadi ketidakadilan hukum.

“Demokrat mencermati, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dinilai sering tebang pilih. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tajam ke lawan, tumpul ke kawan,” kata AHY.

Menurut AHY, keadilan harusnya berlaku bagi semua, baik keadilan sosial ekonomi, politik, penegakan hukum, serta keadilan untuk rakyat kecil dan kaum lemah. Namun, kerap kali, respons negara terhadap para pencari keadilan sering berbeda, bergantung posisi politik yang bersangkutan.

“Praktik ini merusak keadilan, etika pemerintahan, dan nilai demokrasi,” ujarnya.

AHY mengatakan, pemerintah mestinya menjamin penegakan hukum, termasuk
pemberantasan korupsi, dilaksanakan secara adil dan tidak tebang pilih. Penyalahgunaan kekuasaan harus dicegah, penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan politik mesti dihentikan.

“Ingat, ketidakadilan adalah sumber utama dari semua permasalahan,” tuturnya.

Cawe-cawe Jokowi

AHY juga menyinggung niat pemimpin negara untuk "cawe-cawe" pada Pemilu 2024. Ia menilai, cawe-cawe itu bisa mengancam iklim demokrasi di Tanah Air.

“Tentu banyak yang bertanya, kalau ada niat cawe-cawe pemimpin negeri dalam Pemilu 2024, kalau cawe-cawe itu melibatkan instrumen kekuasaan negara dan dinilai tidak adil, jelas nasib demokrasi kita dalam bahaya,” ujarnya.

Menurut dia, salah satu masalah dalam pemerintahan Jokowi adalah kebebasan berpendapat. Pasalnya, banyak yang takut bersikap kritis karena khawatir diserang pihak prorezim.

“Kini, rakyat takut bicara. Kalangan elite dan golongan menengah juga enggan bicara karena khawatir bakal ‘diserang’ secara membabi buta,” kata AHY.

“Lawan politik penguasa diidentikan sebagai musuh negara. Netralitas dan independensi kekuasaan negara dipertanyakan,” lanjutnya.

AHY pun mengingatkan agar pemerintah menjamin kebebasan demokrasi dan etika berpolitik agar tidak menyimpang dari konstitusi. Dia mengaku tidak ingin demokrasi mengalami kemunduran sehingga bisa memicu perpecahan di masyarakat.

Bisnis pejabat

Terakhir, AHY bicara soal etika pejabat negara dalam tata pemerintahan. Dia menyinggung keterlibatan para pejabat dalam kegiatan bisnis di lingkungan pemerintahan atau lembaga negara.

“Menjadi tidak etis jika menteri atau pejabat negara menjalankan bisnis, sementara ia berada dalam lingkaran pembuatan kebijakan dan regulasi yang terkait langsung dengan bisnis itu. Jelas ada konflik kepentingan,” kata dia.

Lebih tidak etis lagi jika wilayah bisnis itu menggunakan anggaran negara, di mana pejabat tersebut terlibat dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belana negara (APBN). Menurut AHY, praktik-praktik bisnis yang demikian harus segera disudahi.

“Ini namanya jeruk makan jeruk atau berburu di kebun binatang. Karenanya, Demokrat berpendapat, bisnis pejabat model begini harus dicegah dan dihentikan,” ujarnya.

Sementara, kata AHY, saat ini, ada tanda-tanda yang menunjukkan terganggunya kesetaraan dan keseimbangan antarlembaga negara.

“Kalangan pemerhati konstitusi dan tata negara, mulai melihat tendensi kembalinya konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, meski tidak sedalam di era otoritarian dulu,” katanya.

Genjot elektabilitas

Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama, Ari Junaedi, menilai, serangan-serangan AHY terhadap pemerintahan Jokowi tak lepas dari upaya meningkatkan elektabilitas.

Memang, AHY tengah membutuhkan elektoral yang tinggi mengingat dirinya ngebet jadi bakal calon wakil presiden pendamping bakal calon presiden Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan.

Oleh karena Anies tak kunjung mengumumkan nama cawapres, kata Ari, AHY memperbesar frekuensi serangan terhadap rezim Jokowi yang merepresentasikan kekuatan dua pilar kubu capres yang akan menjadi rival Anies, yakni Prabowo dan Ganjar.

“Frekuensi AHY tentu harus identik dengan frekuensi Anies yang memang antipati dengan pola kebijakan yang ditempuh Jokowi,” kata Ari kepada Kompas.com, Minggu (16/7/2023).

Ari mengatakan, AHY sadar bahwa dirinya harus mengerahkan segala sumber daya yang ada, termasuk mengkritik pemerintah lewat pidatonya yang ditayangkan di sejumlah stasiun televisi swasta.

“AHY sadar kesempatannya tidak semakin banyak, dia harus atraktif menarik atensi Anies dan Nasdem serta PKS karena memang harapan terbesarnya dan yang maksimal teraih adalah posisi calon RI-2,” ujar Ari.

Sementara, ihwal kedekatan AHY dengan Puan baru-baru ini, lanjut Ari, itu bisa jadi bonus politik yang dimanfaatkan untuk menaikkan nilai jualnya.

AHY dan Demokrat dinilai sedang memainkan politik di semua arah agar peluangnya terbuka ke semua koalisi.

“Belum adanya bakal capres yang mendefinitifkan bakal cawapres membuat semua aktor politik yang berpeluang menjadi bakal cawapres memaksimalkan segala upaya, termasuk apa yang dilakukan AHY,” tutur dosen Universitas Indonesia itu.

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/17/05150031/-serangan-tajam-ahy-ke-pemerintahan-jokowi-usai-demokrat-mesra-dengan-pdi-p-

Terkini Lainnya

Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Nasional
BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

Nasional
Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Nasional
KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

Nasional
Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Nasional
KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena 'Mark Up' Harga Lahan Tebu PTPN XI

KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena "Mark Up" Harga Lahan Tebu PTPN XI

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke