Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XVII/2019 merupakan yurisprudensi terkait syarat penilaian pengujian formil, terdiri dari 5 (lima) syarat, yakni: pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi UU; pengujian atas bentuk (format) atau sistematika UU; pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU; dan pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Dalam pandangan Saldi Isra, sistem legislasi sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945, mengatur bahwa proses pembentukan UU (law-making process) merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari: (1) prakarsa pengajuan RUU; (2) pembahasan RUU; (3) persetujuan RUU; (4) pengesahan RUU menjadi UU; dan (5) pengundangan dalam lembaran negara (Saldi Isra dalam Keterangan Ahli perkara uji formil UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Salinan Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009, hlm. 27).
Upaya ini dilakukan untuk melimitasi aktivitas politik fungsi legislasi demi menjamin due procces of law yang tertib dan berkeadilan.
Pentingnya kaidah dan asas pembentukan undang-undang dalam fungsi legislasi ditujukan untuk meminimalkan warna kepentingan politik dalam aktivitas pembentukan rancangan undang-undang.
Argumen lain yang dapat memperkuat pentingnya due procces of law yang tertib dan berkeadilan adalah pendapat Yuliandri dalam Keterangan Ahli perkara uji formil-materil UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Salinan Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014, hlm. 81- 88).
Ia menyebut bahwa proses pembentukan undang-undang memiliki sifat constitutional importance, sebagaimana tertuang dalam Pasal 22A UUD 1945.
Ada 3 (tiga) alasan yang mendasarinya, yakni: pertama, keberadaan tata cara atau prosedur merupakan salah satu jalan untuk mengontrol agar kekuasaan pembentukan UU yang dimiliki DPR dan juga presiden tidak disalahgunakan.
Kedua, prosedur atau tata cara dapat dijadikan indikator untuk menilai semangat atau motif apa yang ada di balik perumusan suatu norma.
Secara kasat mata, substansi yang dimuat dalam UU bisa saja dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena yang diatur merupakan open legal policy pembentuk UU, namun sebuah norma sangat mungkin lahir dari sebuah moral hazard.
Ketiga, proses dan hasil pembentukan UU bukanlah dua hal terpisah. Sekalipun keduanya dapat dibedakan, namun keduanya tidak dapat diletakkan secara dikotomis.
Proses sangat menentukan hasil. Oleh karenanya, proseslah terlebih dahulu yang harus dinilai, baru kemudian hasilnya.
Meskipun perumusan UU Kesehatan dengan menggunakan model Omnibus Law didasarkan pada Pasal 42A UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun tetap harus memperhatikan asas kepastian hukum.
Bagaimanapun, prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan di setiap negara sangat bergantung kepada sistem yang dianut oleh negara tersebut, sekalipun model Omnibus Law sudah banyak digunakan oleh negara-negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental (Redi dan Chandranegara, 2020).
Hal ini selaras dengan teori “The law of non transferability of law“ yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman, yakni hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain (Suteki, 2013).
Selain problem law-making process UU Kesehatan yang dapat dijadikan dasar pengujian formil ke MK, setidaknya ada 4 (empat) problem substansial yang terkandung di dalamnya yang dapat dijadikan dasar dalam pengujian materil.
Pertama, perumusan RUU Kesehatan tidak jelas dan tidak mempunyai landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, serta tidak mendesak.
Kedua, RUU tersebut juga memuat kemudahan pemberian izin praktik bagi dokter asing di Indonesia. Sementara, bagi dokter yang dalam negeri sendiri prosedurnya cukup panjang.
Walaupun pemerintah mengakui bahwa izin bagi dokter asing bakal diberikan terbatas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ataupun rumah sakit swasta tempat investor negaranya menanam saham, namun hal ini tetap menjadi ancaman bagi dokter di dalam negeri.