Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gugat "Presidential Threshold", Partai Buruh Enggan Dipaksa Koalisi dengan Parpol Pendukung UU Ciptaker

Kompas.com - 14/07/2023, 17:22 WIB
Vitorio Mantalean,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Buruh mengaku enggan dipaksa berkoalisi dengan partai politik pendukung UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada Pilpres 2024 mendatang.

Atas alasan itu, partai besutan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal itu akan menggugat ketentuan ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Partai Buruh menegaskan, alasan dihidupkannya kembali partai ini adalah terbitnya UU Ciptaker. Said Iqbal termasuk pihak yang pernah menguji beleid bermasalah yang akhirnya dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada 2020 lalu itu.

Baca juga: Partai Buruh Uji Materi Presidential Threshold ke MK Pekan Depan, Jadi Gugatan Ke-31

"Jika ketentuan ini (ambang batas pencalonan presiden) terus ada dan menjadi ketentuan yang tidak dapat diubah, tentu Partai Buruh akan tersandera. Partai Buruh tidak dapat mengusung capres-cawapres yang independen dan menjadi tergabung dengan capres-cawapres (usungan partai politik) pendukung UU Cipta Kerja," ujar kuasa hukum Partai Buruh, Airlangga Julio, dalam jumpa pers, Jumat (14/7/2023).

"Intinya Partai Buruh tidak ingin untuk bergabung atau menjadi koalisi dengan parpol pendukung UU Ciptaker. Itu adalah sikap tegas dan konsistensi Partai Buruh yang selama ini terus dilakukan," jelasnya.

Kuasa hukum lainnya, Alghiffari Aqsa, menjelaskan bahwa dalam permohonan uji materi ke MK ini, terdapat dua orang eks kader Partai Buruh sebagai penggugat.

Baca juga: Partai Buruh Berencana Uji Formil UU Kesehatan ke MK

Keduanya mundur dari partai berkelir jingga itu karena isu Partai Buruh turut mendukung bakal calon presiden PDI-P, Ganjar Pranowo, sebagai RI 1 pada Pilpres 2024 mendatang karena tak bisa mengusung kandidatnya sendiri.

Padahal, PDI-P merupakan salah satu partai politik pendukung UU Ciptaker.

Kuasa hukum lainnya, Feri Amsari, menegaskan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dibuat untuk menyandera partai-partai di luar parlemen, khususnya partai politik pendatang baru.

Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa calon presiden-wakil presiden diusung oleh partai politik sebelum pemilu digelar.

Bermodal pasal ini, Partai Buruh semestinya berhak mencalonkan jagoannya karena sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 sebelum pencalonan presiden.

Baca juga: Tolak UU Kesehatan, Partai Buruh Siapkan Aksi Besar-besaran di DPR

Namun, lewat Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), ketentuan itu dimodifikasi sehingga calon presiden-wakil presiden diusung oleh partai politik berdasarkan capaian di pemilu sebelumnya, yakni minimum 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional.

Ini membuat Partai Buruh, juga partai-partai politik pendatang baru dan partai-partai nonparlemen, harus bergabung dengan partai-partai politik penguasa Senayan untuk bisa mengusung calon presidennya.

"Konstruksi ini celaka bagi demokrasi. Kenapa? Ini tidak akan mengubah kepentingan parlemen yang ada saat ini, yang berkaitan dengan pemilu sebelumnya," ucap Feri.

"Partai yang berwenang mengajukan presiden hari ini akan berputar-putar menjadi partai yang juga akan berhak pada pemilu berikutnya mencalonkan calon presiden," lanjutnya.

Baca juga: Partai Buruh Serahkan Berkas Perbaikan 60 Bacaleg ke KPU, Ada yang Mundur karena Tuntutan Keluarga

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Panglima TNI Perintahkan Pengamanan Pilkada Harus Serius karena Ancaman dan Risiko Lebih Besar

Panglima TNI Perintahkan Pengamanan Pilkada Harus Serius karena Ancaman dan Risiko Lebih Besar

Nasional
Hari Pertama Penyerahan Dukungan, Mayoritas Provinsi Nihil Cagub Independen

Hari Pertama Penyerahan Dukungan, Mayoritas Provinsi Nihil Cagub Independen

Nasional
Hakim MK Sebut Sirekap Bikin Kacau Penghitungan Suara, Minta KPU Perbaiki

Hakim MK Sebut Sirekap Bikin Kacau Penghitungan Suara, Minta KPU Perbaiki

Nasional
Hakim PN Jaksel Tolak Praperadilan Karutan KPK, Status Tersangka Pungli Tetap Sah

Hakim PN Jaksel Tolak Praperadilan Karutan KPK, Status Tersangka Pungli Tetap Sah

Nasional
PAN Cabut Gugatan soal PPP Dapat Suara 'Gaib' di Bengkulu

PAN Cabut Gugatan soal PPP Dapat Suara "Gaib" di Bengkulu

Nasional
Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, KIP: Merupakan Informasi Terbuka

Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, KIP: Merupakan Informasi Terbuka

Nasional
WTP Kementan Terganjal “Food Estate”, Auditor BPK Minta Uang Pelicin Rp 12 Miliar

WTP Kementan Terganjal “Food Estate”, Auditor BPK Minta Uang Pelicin Rp 12 Miliar

Nasional
Jokowi: Pemerintah Bangun Sumur Pompa Antisipasi Dampak Kemarau

Jokowi: Pemerintah Bangun Sumur Pompa Antisipasi Dampak Kemarau

Nasional
Bawaslu Ungkap Suara Caleg Demokrat di Aceh Timur Sempat Naik 7 Kali Lipat, Lalu Dihitung Ulang

Bawaslu Ungkap Suara Caleg Demokrat di Aceh Timur Sempat Naik 7 Kali Lipat, Lalu Dihitung Ulang

Nasional
Mensos Risma Minta Data Penerima Bansos Ditetapkan Tiap Bulan untuk Hindari Penyimpangan

Mensos Risma Minta Data Penerima Bansos Ditetapkan Tiap Bulan untuk Hindari Penyimpangan

Nasional
Jokowi Pastikan Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat Tembaga PT Freeport

Jokowi Pastikan Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat Tembaga PT Freeport

Nasional
Risma Ingatkan Kepala Dinsos Se-Indonesia, Jangan Rapat Bahas Fakir Miskin di Hotel

Risma Ingatkan Kepala Dinsos Se-Indonesia, Jangan Rapat Bahas Fakir Miskin di Hotel

Nasional
Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Nasional
KPU Sebut Pemindahan 36.000 Suara PPP ke Garuda di Jabar Klaim Sepihak, Harus Ditolak MK

KPU Sebut Pemindahan 36.000 Suara PPP ke Garuda di Jabar Klaim Sepihak, Harus Ditolak MK

Nasional
Ketua KPU Ditegur Hakim saat Sidang Sengketa Pileg di MK: Bapak Tidur, Ya?

Ketua KPU Ditegur Hakim saat Sidang Sengketa Pileg di MK: Bapak Tidur, Ya?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com