Implikasinya, secara hipotetis bisa dijadikan dasar mengukur prestasi kinerja dan pencapaiannya. Meski harus dibuktikan jika ukurannya adalah mengurus Indonesia.
Namun sekali lagi kita harus mengembalikan pada logika yang didasarkan pada parameter-parameter yang tidak sederhana.
Semuanya harus bisa berimbang, tak menjadi dasar untuk cakar-cakaran, apalagi jika sampai harus adu argumen dan menjadi “perang pencapaian hasil kinerja”, seperti belakangan ketika elite ribut soal panjang jalan nasional, lantas juga terbawa-bawa jalan daerah.
Padahal sejatinya ada saja proyek jalan daerah yang kemudian meningkat menjadi jalan nasional. Maka ukuran-ukuran yang terlihat benar bisa salah baca data atau salah menempatkan konteks bahan perdebatannya, lantas bisa menjadi subjektif.
Jadi, masih mau terus membanding-bandingkan rekam jejak kinerja, atau lebih baik buktikan saja yang sebenarnya?
Beberapa tahun lalu ada story success, ketika wali kota Solo jadi orang nomor satu di Indonesia. Begitu juga ada gubernur Jakarta yang naik jadi presiden. Apakah akan ada sekuel?
Sebenarnya politik itu memang sulit ditebak dan ukuran-ukuran seperti data statistik bisa saja “salah” atau "dipersalahkan” karena menjadi sebab bisa menyimpulkan “kebenaran” yang subjektif karena bias politik.
Wah rumit jadinya. Jadi terserah dan monggo saja, siapa mau milih siapa, yang penting jangan sampai berdarah-darah, gara-gara analisa setitik bisa merusak bangsa sebelanga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.