Salin Artikel

Siapa Penerus Sekuel Kisah Jokowi Jadi Presiden?

Dalam banyak interaksi dan diskusi di ruang medsos, kanal-kanal televisi, perdebatan tentang capres Prabowo Subianto, Anies Baswedan maupun Ganjar Pranowo, mulai melebar kemana-mana, hingga ke “tanding” saling ukur rekam jejak.

Baik buruknya tergantung masing-masing pemilih. Dan dengan sendirinya ukuran-ukuran rekam jejak itu menjadi sangat subjektif.

Dalam konteks iklan, konten medsos berisi dialog interaktif capres dengan publik bisa punya daya tarik yang sangat menarik.

Jika ingin melihat rekam jejak, maka cara cerdasnya adalah dengan melihat, apanya yang mau dinilai—setidaknya kita akan butuh indikator atau ukuran-ukuran agar proporsi jawaban tak sekadar pukul angin, dan bukan juga sekadar mengandalkan nalar tak bertuan, seperti ketika kita berdebat kusir di warkop.

Anies pernah bilang rekam jejak yang dijadikan ukuran adalah karya nyata, bukan sekadar ide atau gagasan, apalagi utopia.

Apakah artinya Anies lebih siap? Seperti katanya juga, bahwa ia akan lebih siap jika harus bertarung gagasan hingga rekam jejak, daripada diajak bertarung keliling Indonesia.

Prabowo dan Ganjar juga memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat riwayat jejaknya masing-masing. Bisa saja disesuaikan dengan konteksnya.

Berbicara tentang personality, dampak dari ide atau gagasan atau dampak dari prestasi kerja yang pernah dilakukannya. Semua punya “ceritanya” masing-masing, dan bisa diadu.

Memang rekam jejak bisa menjadi salah satu alat pengukur kinerja. Jika tokoh yang mau dibandingkan, misalnya Ganjar dan Anies, tentu ukurannya bisa jadi akan lebih mudah.

Apalagi keduanya, Ganjar dan Anies, memiliki rekam jejak selaku gubernur. Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta (2017-2022) dan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) 2018-2023 (periode kedua).

Kedua tokoh itu menarik untuk diulik, karena keduanya adalah bacapres RI untuk Pilpres 2024. Anies bacapres dari Partai Nasdem, Ganjar dari PDI Perjuangan.

Publik tentu penasaran dan ingin tahu, paling tidak siapa yang rekam jejaknya patut jadi bahan pertimbangan “lebih menarik”. Di antara keduanya, bisa diukur dari rekam jejak dampak kinerjanya selaku gubernur.

Sementara untuk Prabowo, capres Gerindra ini juga punya segudang rekam jejak yang tak bisa diremehkan.

Paling tidak pengalamannya menjadi petahana capres 3 kali berturut-turut patut menjadi pertimbangan juga. Secara politis Prabowo, minimal punya pengalaman lebih banyak dari Ganjar dan Anies.

Pemodelan untuk mengukurnya memang bersifat hipotetis, karena sebenarnya begitu rumitnya jika harus mengkalkulasi soal keberhasilan, apalagi jika dinilai dari kinerjanya.

Apakah prestasi terbaik, juga memiliki imbas perbaikan terbaik? Nah, jika berdebat lagi soal itu akan lain lagi kesimpulan dan hasilnya.

Dengan begitu, kita harus memilih dulu, ukuran kinerja yang mau diukur, banyaknya proyek atau dampak pembangunannnya? Keduanya punya implikasi berbeda sebagai pengukur rekam jejak.

Pertama, mengukur realisasi proyek-proyek pembangunan daerah, dengan membandingkan antara rencana dan realisasi proyek-proyek pembangunan di daerah.

Selanjutnya akan muncul indikator-indikator spesifik daerah. Semisal tingkat realisasi anggaran pembangunan, tingkat realisasi proyek-proyek pembangunan fisik dan non-fisik, dan tingkat peran serta masyarakat.

Bisa jadi meski eskalasi proyeknya tidak besar, tapi dampaknya yang langsung menyentuh sasaran. Jika bisa menuntaskan setengah masalah banjir di Jakarta, prestasi itu sudah sangat luar biasa.

Namun jika hanya menyentuh daerah tertentu yang tidak memiliki dampak secara sosial dan ekonomi yang besar, tentu saja kadar nilainya bisa menjadi lebih rendah. Lagi-lagi penilaian ini bisa menjadi sangat subjektif.

Proyek-proyek spesifik daerah yang dapat dijadikan indikasi pengukur misalnya, revitalisasi trotoar, pembangunan JPO, revitalisasi taman kota, peningkatan dan penambahan ruas jalan, pembangunan stadion, peningkatan irigasi, dan penanggulangan banjir.

Kedua, mengukur dampak proyek pembangunan terhadap taraf sosial-ekonomi masyarakat. Indikator-indikator sosial-ekonomi yang berlaku sejatinya tidak akan sama untuk semua daerah. Kompleksitas Jakarta sebagai ibu kota dan miniatur Indonesia, tidak sederhana.

Ibarat kata, jika ingin duduk di RI-1, test case dulu duduk di Jakarta-1. Tapi sekali lagi sebenarnya itu juga tak bisa jadi patokan yang sahih.

Tetap saja banyak komponen penambah nilai, jadi tak bisa cateris paribus—mengabaikan faktor tertentu sebagai pengukur karena dianggap tak penting.

Indikator yang akan tampil adalah angka-angka obyektif dampak pembangunan. Lazimnya ada lima indikator, yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, rasio gini pendapatan, tingkat kemiskinan, tingkat kebahagiaan (IK), dan indeks pembangunan manusia (IPM).

Pendekatan kedua ini lebih obyektif. Alasannya, pertama, tujuan pembangunan adalah peningkatan kemakmuran rakyat. Karena itu dampak sosial-ekonomi proyek pembangunanlah yang harus menjadi ukuran. Bukan realisasi proyek itu sendiri.

Kedua, pembandingan kinerja antarkandidat harus didasarkan pada indikator yang sama dan setara. Dalam hal ini lima indikator tersebut di atas telah memenuhi syarat.

Apalagi jika didukung fakta angka-angka yang bisa merepresentasi ukuran berhasil atau tidaknya, agar bisa lebih dinikmati secara logika.

Implikasinya, secara hipotetis bisa dijadikan dasar mengukur prestasi kinerja dan pencapaiannya. Meski harus dibuktikan jika ukurannya adalah mengurus Indonesia.

Namun sekali lagi kita harus mengembalikan pada logika yang didasarkan pada parameter-parameter yang tidak sederhana.

Semuanya harus bisa berimbang, tak menjadi dasar untuk cakar-cakaran, apalagi jika sampai harus adu argumen dan menjadi “perang pencapaian hasil kinerja”, seperti belakangan ketika elite ribut soal panjang jalan nasional, lantas juga terbawa-bawa jalan daerah.

Padahal sejatinya ada saja proyek jalan daerah yang kemudian meningkat menjadi jalan nasional. Maka ukuran-ukuran yang terlihat benar bisa salah baca data atau salah menempatkan konteks bahan perdebatannya, lantas bisa menjadi subjektif.

Jadi, masih mau terus membanding-bandingkan rekam jejak kinerja, atau lebih baik buktikan saja yang sebenarnya?

Beberapa tahun lalu ada story success, ketika wali kota Solo jadi orang nomor satu di Indonesia. Begitu juga ada gubernur Jakarta yang naik jadi presiden. Apakah akan ada sekuel?

Sebenarnya politik itu memang sulit ditebak dan ukuran-ukuran seperti data statistik bisa saja “salah” atau "dipersalahkan” karena menjadi sebab bisa menyimpulkan “kebenaran” yang subjektif karena bias politik.

Wah rumit jadinya. Jadi terserah dan monggo saja, siapa mau milih siapa, yang penting jangan sampai berdarah-darah, gara-gara analisa setitik bisa merusak bangsa sebelanga!

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/16/13145611/siapa-penerus-sekuel-kisah-jokowi-jadi-presiden

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke