Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Siapa Penerus Sekuel Kisah Jokowi Jadi Presiden?

Kompas.com - 16/06/2023, 13:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pemodelan untuk mengukurnya memang bersifat hipotetis, karena sebenarnya begitu rumitnya jika harus mengkalkulasi soal keberhasilan, apalagi jika dinilai dari kinerjanya.

Apakah prestasi terbaik, juga memiliki imbas perbaikan terbaik? Nah, jika berdebat lagi soal itu akan lain lagi kesimpulan dan hasilnya.

Dengan begitu, kita harus memilih dulu, ukuran kinerja yang mau diukur, banyaknya proyek atau dampak pembangunannnya? Keduanya punya implikasi berbeda sebagai pengukur rekam jejak.

Pertama, mengukur realisasi proyek-proyek pembangunan daerah, dengan membandingkan antara rencana dan realisasi proyek-proyek pembangunan di daerah.

Selanjutnya akan muncul indikator-indikator spesifik daerah. Semisal tingkat realisasi anggaran pembangunan, tingkat realisasi proyek-proyek pembangunan fisik dan non-fisik, dan tingkat peran serta masyarakat.

Bisa jadi meski eskalasi proyeknya tidak besar, tapi dampaknya yang langsung menyentuh sasaran. Jika bisa menuntaskan setengah masalah banjir di Jakarta, prestasi itu sudah sangat luar biasa.

Namun jika hanya menyentuh daerah tertentu yang tidak memiliki dampak secara sosial dan ekonomi yang besar, tentu saja kadar nilainya bisa menjadi lebih rendah. Lagi-lagi penilaian ini bisa menjadi sangat subjektif.

Proyek-proyek spesifik daerah yang dapat dijadikan indikasi pengukur misalnya, revitalisasi trotoar, pembangunan JPO, revitalisasi taman kota, peningkatan dan penambahan ruas jalan, pembangunan stadion, peningkatan irigasi, dan penanggulangan banjir.

Kedua, mengukur dampak proyek pembangunan terhadap taraf sosial-ekonomi masyarakat. Indikator-indikator sosial-ekonomi yang berlaku sejatinya tidak akan sama untuk semua daerah. Kompleksitas Jakarta sebagai ibu kota dan miniatur Indonesia, tidak sederhana.

Ibarat kata, jika ingin duduk di RI-1, test case dulu duduk di Jakarta-1. Tapi sekali lagi sebenarnya itu juga tak bisa jadi patokan yang sahih.

Tetap saja banyak komponen penambah nilai, jadi tak bisa cateris paribus—mengabaikan faktor tertentu sebagai pengukur karena dianggap tak penting.

Indikator yang akan tampil adalah angka-angka obyektif dampak pembangunan. Lazimnya ada lima indikator, yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, rasio gini pendapatan, tingkat kemiskinan, tingkat kebahagiaan (IK), dan indeks pembangunan manusia (IPM).

Pendekatan kedua ini lebih obyektif. Alasannya, pertama, tujuan pembangunan adalah peningkatan kemakmuran rakyat. Karena itu dampak sosial-ekonomi proyek pembangunanlah yang harus menjadi ukuran. Bukan realisasi proyek itu sendiri.

Kedua, pembandingan kinerja antarkandidat harus didasarkan pada indikator yang sama dan setara. Dalam hal ini lima indikator tersebut di atas telah memenuhi syarat.

Apalagi jika didukung fakta angka-angka yang bisa merepresentasi ukuran berhasil atau tidaknya, agar bisa lebih dinikmati secara logika.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com