MEMBAHAS mengenai sistem pemilihan umum merupakan diskursus yang tidak bisa dilepaskan dengan eksistensi partai politik sebagai peserta pemilihan umum legislatif sebagaimana yang ditetapkan dalam konstitusi.
Oleh sebab itu, kualitas demokrasi internal partai politik akan menentukan pelaksanaan pemilihan umum, apakah dapat mewujudkan suatu demokrasi politik secara substantif atau sebaliknya.
Allen Hicken menyebutkan, keberadaan partai politik menentukan sehat tidaknya kualitas representasi/perwakilan.
Sejalan dengan itu, Djayadi Hanan (2021) menekankan bahwa ketika partai politik bermasalah, maka akan menjadi hulu persoalan terhadap buruknya kualitas demokrasi dan pemerintahan.
Sistem pemilu merupakan metode untuk mengonversi suara yang didapat oleh peserta pemilu menjadi perolehan kursi di parlemen ataupun eksekutif.
Karena posisinya yang sangat strategis, pada saat pembahasan rancangan undang-undang pemilu di parlemen, sejumlah politisi berseloroh bahwa pengaturan soal sistem pemilu adalah soal hidup mati mereka dan partai politik tempat mereka bernaung (Titi Anggraini, 2023).
Tarik menarik kepentingan pragmatis-elitis parpol dalam penentuan kebijakan sistem pemilihan umum, merupakan konsekuensi logis dari realitas buruk internalisasi partai politik Indonesia saat ini yang di bawah kendali oligarki.
Praktik oligarkis parpol dapat dibuktikan dengan perlakuan istimewa (privilege) keluarga pimpinan parpol, baik dalam struktur internal parpol maupun pemerintahan seperti yang terjadi di PDIP, Golkar, Demokrat, Nasdem, Gerindra, Perindo, PAN dan lainnya.
Kemudian, nuansa oligarkis kedua, yakni perilaku koruptif partai politik, sebagaimana hasil temuan Transparency International Indonesia (2021) bahwa lembaga DPR RI yang berasal dari partai politik merupakan lembaga terkorup di Indonesia.
Hasil survei menunjukan sebanyak 51 persen responden mempersepsikan DPR RI sebagai lembaga terkorup diikuti pejabat pemerintah daerah 48 persen, kepolisian 33 persen, pebisnis 25 persen, pengadilan/hakim 24 persen, presiden/menteri 20 persen, LSM 19 persen, TNI 8 persen, pemuka agama 7 persen.
Nuansa oligarkis dalam internal partai politik disebabkan faktor kepemimpinan (leadership) yang pada umumnya masih mengedepankan semangat personifikasi, eksklusivisme, dan elitisme.
Kemunculan figur atau kelompok yang memiliki modalitas politik terkait faktor historis atau finansial atau keduanya kerap menjadi inner cirle yang sulit terbantahkan.
Selain itu beberapa partai dalam aturan mainnya yang ditetapkan dalam AD/ART juga memberikan peluang sentralisasi kekuasaan kepada figur atau kelompok tertentu dalam internal partai (Firman Noor,2021).
Pendidikan kader yang hanya dijadikan agenda formalitas membuat regenerasi kepemimpinan partai tidak objektif karena kultur dinasti politik dan oligarkis daripada menyiapkan kader yang ideologis dan berkualitas.
Implikasinya, kehidupan demokrasi internal tidak berkembang dan proses penentuan kebijakan internal ditentukan oleh segelintir elite saja.