JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, mengakui bahwa dihapusnya ketentuan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) yang seharusnya diserahkan ke KPU dapat menyulitkan pengawasan aliran dana kampanye peserta Pemilu 2024.
"Ya, tentu pengawasan kita akan menjadi agak sulit," kata Bagja kepada wartawan, Senin (12/6/2023).
Menurut dia, satu-satunya hal yang bisa dilakukan Bawaslu hanyalah membandingkan data dana kampanye peserta Pemilu 2024 lewat dua laporan tersisa yang diwajibkan KPU, yaitu Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan-Pengeluaran Dana Kampanye (Lapak).
Baca juga: Syarat Lapor Sumbangan Dana Kampanye Diminta Tak Dihapus Biar Mudah Ditelusuri
Pemeriksaan ini pun baru bisa dilakukan setelah masa kampanye berakhir. Padahal, keberadaan LPSDK dianggap sangat signifikan untuk mengetahui adanya sumbangan dari pihak ketiga untuk peserta pemilu di tengah masa kampanye.
Sementara itu, Bagja juga mengaku bakal berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana di masa kampanye bagi peserta pemilu.
Ia meyakini, data PPATK justru dapat lebih dalam mengungkap aliran dana tersebut, termasuk dana-dana yang mungkin berasal dari sumber ilegal yang dilarang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Penjelasan KPU soal Dihapusnya Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye
"Karena nggak mungkin dilaporkan lah dana-dana bermasalah itu, baik di LADK maupun LPPDK,” ujar Bagja.
Sebelumnya diberitakan, rencana KPU menghapus LPSDK diungkapkan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Idham Holik dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023.
Ia beralasan, LPSDK dihapus lantaran tak tercantum secara eksplisit di dalam UU Pemilu. KPU juga berdalih bahwa dihapusnya LPSDK berkaitan dengan singkatnya masa kampanye Pemilu 2024 yang hanya 75 hari.
Sebagai informasi, penerapan LPSDK sebetulnya sudah menjadi warisan sejak Pemilu 2014.
Baca juga: KPU: Sumbangan Dana Kampanye Tetap Wajib Dilaporkan
Dosen hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menganggap kebijakan ini bermasalah sebab tidak semua kandidat yang bertarung dalam kontestasi memiliki uang yang banyak untuk mendanai kampanyenya.
Dengan tingginya ongkos politik di Indonesia, keterlibatan sumbangan dari pihak ketiga kerapkali dituding sebagai salah satu penyebab korupsi yang terjadi ketika kandidat tersebut terpilih sebagai pejabat.
"Sangat mungkin ada peserta yang banyak aktivitas kampanyenya tapi tidak jelas pemasukannya dari mana mengingat harta kekayaannya tidak terlalu besar," ungkap Titi kepada Kompas.com, Rabu (31/5/2023).
"LPSDK ini praktik baik yang mestinya menjadi komitmen semua pihak untuk mewujudkan pemilu bersih dan antikorupsi," kata dia.
Aspek transparansi ini krusial karena calon anggota legislatif (caleg) juga tidak diwajibkan melaporkan harta kekayaan sebelum mencalonkan diri.
"Durasi kampanye memang pendek hanya 75 hari, tapi justru karena makin pendek, sangat mungkin peserta pemilu akan jor-joran mengeluarkan belanja kampanye untuk penetrasi pemilih agar di waktu yang sempit bisa optimal mempengaruhi pemilih. Di situ lah krusial dan strategisnya LPSDK," jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.