Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tohadi
Dosen dan Advokat

Dosen FH UNPAM dan Advokat Senior Pada TOGA Law Firm

Problematika Putusan MK tentang Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK

Kompas.com - 07/06/2023, 08:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi No. 112/PUU-XX/2022 bertanggal 25 Mei 2023, menuai perdebatan serius di tengah masyarakat.

Sebenarnya ada dua isu hukum penting terkait putusan Mahkamah, yang terdapat empat hakim berbeda pendapat (dissenting opinion) dari sembilan hakim.

Pertama, terkait syarat batas minimal usia calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kedua, terkait perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK.

Isu hukum perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK inilah yang mengundang diskursus hukum yang ramai dibahas publik.

Syarat batas minimal usia calon Pimpinan KPK

Mahkamah telah memperluas penafsiran ketentuan dalam Pasal 29 huruf e UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (biasa disebut UU KPK).

Ketentuan a quo terkait syarat batas minimal usia calon Pimpinan KPK. Semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, diperluas dengan menambahkan frasa “atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK” sehingga menjadi: “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.

Mahkamah memberikan pertimbangan hukum bahwa terjadinya perubahan batas syarat minimal usia calon Pimpinan KPK dari semula 40 tahun menjadi 50 tahun dalam Pasal 29 huruf e UU No. 30 Tahun 2022 telah menyebabkan ketidakadilan bagi Nurul Ghufron sebagai Pemohon --yang sekarang sebagai Wakil Ketua KPK.

Sebab, pemohon yang sebelumnya telah memenuhi syarat dan terpilih menjadi Pimpinan KPK, maka dengan perubahan batas syarat minimal usia tersebut berakibat pemohon tidak lagi memenuhi kualifikasi untuk menjadi Pimpinan KPK pada periode nanti.

Maka, Mahkamah perlu menambahkan ketentuan “atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK” mengingat pemohon faktanya kini menjadi Pimpinan KPK dan agar memperoleh keadilan hukum untuk dapat mencalonkan kembali pada seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK berikutnya.

Sejauh pertimbangan dan putusan terkait syarat batas minimal usia calon Pimpinan KPK, menurut penulis, tidak terdapat masalah hukum yang dipersoalkan. Karena sudah seharusnya hukum memberikan perlindungan kepada Pemohon.

Jika sebelumnya telah memenuhi persyaratan batas minimal usia calon Pimpinan KPK, maka pada seleksi atau rekrutmen berikutnya juga harus mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang adil bahwa yang bersangkutan memenuhi persyaratan dan tidak terganjal oleh karena adanya perubahan batas minimal usia.

Perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK

Putusan MK No. 112/PUU-XX/2022 memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK dari semula 4 tahun menjadi 5 tahun

Mahkamah, sejatinya mengakui persoalan masa jabatan Pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.

Namun demikian, Mahkamah menilai ketentuan tersebut tidak adil dan oleh karena itu penentuannya tidak dapat diserahkan kepada pembentuk undang-undang.

Pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan tidak adil ketentuan a quo, karena: pertama, KPK sebagai komisi atau lembaga independen yang penting secara konstitusional (constitutional importance) memiliki masa jabatan pimpinan selama 4 tahun berbeda dibandingkan dengan komisi atau lembaga independen bersifat constitutional importance lainnya yang memiliki masa jabatan pimpinan selama 5 tahun seperti antara lain Otoritas Jasa Keuangan dan Komnas HAM.

Kedua, konsekuensinya ada perlakuan penilaian yang berbeda kepada KPK oleh Presiden dan DPR dalam satu masa periode yang sama sebanyak dua kali dalam hal melakukan seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK.

Jika dibandingkan dengan komisi atau lembaga independen bersifat constitutional importance lainnya yang memiliki masa jabatan pimpinan selama 5 tahun yang hanya diberikan penilaian satu kali.

Mahkamah mencontohkan Presiden dan DPR periode 2019-2024 dapat melakukan penilaian seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK selama dua kali, yaitu pada Desember 2019 lalu dan nanti yang kedua pada Desember 2023.

Ketiga, akan berdampak dapat mengancam independensi KPK karena berpotensi memengaruhi independensi Pimpinan KPK yang akan mendaftarkan kembali pada periode berikutnya.

Hal ini, menurut Mahkamah, karena ada beban psikologis dan benturan kepentingan sebagai akibat adanya dua kali seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK oleh Presiden dan DPR periode yang sama.

Keempat, menurut Mahkamah, jika masa jabatan Pimpinan KPK selama 5 tahun disesuaikan dengan komisi dan lembaga independen lainnya menjadi jauh lebih bermanfaat dan efisien daripada selama 4 tahun.

Catatan atas pertimbangan Mahkamah

Dalam kacamata penulis, pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana tersebut di atas membuka ruang untuk diperdebatkan dari sisi akademis.

Pertama, argumentasi Mahkamah yang menyatakan ketentuan masa jabatan Pimpinan KPK selama 4 tahun dinilai tidak adil karena berbeda dengan masa jabatan pimpinan komisi dan lembaga independen bersifat penting secara konstitusional (constitutional importance) lainnya dan sebagai konsekuensinya ada perlakuan pernilaian berbeda bagi KPK dalam hal seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK sebanyak dua kali oleh Presiden dan DPR dalam periode yang sama, dalam kacamata penulis bukanlah persoalan konstitusional (constitutional question).

Bukan merupakan domain Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan penafsirannya.

Persoalan “angka” bukanlah merupakan persoalan konstitusional yang harus dinilai Mahkamah. Tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.

Jika persoalan “angka” menjadi domain Mahkamah, maka Mahkamah secara tidak langsung telah menunjukkan inkonsistensi sikap dengan putusan-putusan yang dibuat sebelumnya.

Dalam persoalan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang menentukan suatu partai politik apakah dapat mendudukkan wakilnya di DPR sebagaimana dalam UU Pemilu, Mahkamah tidak menjangkau persoalan ini untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskannya.

Demikian juga terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagai syarat batas minimal partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusung atau mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden berdasarkan perolehan suara sah secara nasional atau perolehan kursi DPR sebagai hasil pemilu, meski sudah diajukan puluhan kali, faktanya Mahkamah konsisten tidak memasuki persoalan itu.

Jika Mahkamah memasuki persoalan “angka” sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK justru akan membuka kotak pandora bagi munculnya pengujian materiil (constitutional review) selanjutnya terkait ketentuan undang-undang yang mengatur angka.

Mahkamah dikhawatirkan pada akhirnya bisa saja akan memeriksa, mengadili, dan memutus syarat batas minimal usia pasangan calon presiden dan wakil presiden karena berbeda dengan, misalnya syarat batas minimal usia calon legislatif.

Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2023 ditentukan syarat batas minimal usia pasangan presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun (Pasal 169).

Adapun syarat batas minimal usia Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah 21 tahun (Pasal 182).

Sedangkan syarat batas minimal usia Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah 21 tahun (Pasal 182).

Jika mengikuti alur berfikir Mahkamah sebagaimana dalam pertimbangan hukum di atas, maka syarat batas minimal usia pasangan presiden dan wakil presiden, DPD, dan DPR akan dapat diajukan uji materiil ke Mahkamah karena mengatur syarat batas minimal usia pencalonan yang berbeda, padahal ketiganya sama-sama sebagai lembaga tinggi negara yang diatur dan disebutkan dalam UUD 1945.

Tentu saja, jika hal demikian terjadi, maka dapat dibayangkan betapa Mahkamah akan disibukkan oleh tugas persoalan “angka” dan bukan persoalan norma konstitusional.

Kedua, argumentasi Mahkamah yang menyatakan dampak adanya ketentuan masa jabatan Pimpinan KPK selama 4 tahun dapat mengganggu independensi Pimpinan KPK oleh karena terjadi dua kali seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK oleh Presiden dan DPR periode yang sama, hemat penulis bukan alasan yuridis, tapi lebih pada hipotesis.

Jika pun terjadi dua kali seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK oleh Presiden dan DPR dalam periode yang sama tidaklah secara otomatis keseluruhan Pimpinan KPK terpilih pada periode berikutnya adalah merupakan Pimpinan KPK periode sebelumnya. Kalaupun ada, hampir dipastikan tidak semuanya.

Persoalannya, apakah dengan demikian secara psikologis Pimpinan KPK yang baru akan terbebani dan independensinya terganggu?

Jawabannya harus dilakukan penelitian dan setelah teruji secara empiris. Tidak bisa dengan cara penyimpulan Mahkamah dalam pertimbangan hukum secara hipotesis.

Persoalan independensi KPK justru terletak pada jaminan kedudukannya dalam UU KPK.

Bahkan Mahkamah sendiri melalui putusan-putusannya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XX/2022; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 telah menegaskan jaminan kedudukan KPK sebagai lembaga negara independen yang meskipun tidak disebutkan dalam UUD 1945 tetapi memiliki kedudukan yang penting secara konstitusional (constitutional importance).

Terakhir, Putusan MK No. 112/PUU-XX/2022 bertanggal 25 Mei 2023, dalam temuan penulis terdapat pertimbangan hukum yang cacat secara nalar.

Ketika Mahkamah memberikan pertimbangan hukum bahwa masa jabatan Pimpinan KPK selama 4 tahun menimbulkan ketidakadilan karena terjadi dua kali penilaian seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK oleh Presiden dan DPR periode yang sama, Mahkamah secara tegas menyebutkan, “Penilaian sebanyak dua kali sebagaimana diuraikan di atas setidaknya akan berulang kembali pada 20 (dua puluh) tahun mendatang” (vide: hlm. 118).

Pertimbangan Mahkamah seperti tersebut di atas jelas merupakan pertimbangan nonyuridis dan tidak logis.

Di satu sisi, Mahkamah berpendapat bahwa jika masa jabatan Pimpinan KPK selama 4 tahun akan terjadi penilaian sebanyak dua kali oleh Presiden dan DPR periode yang sama, tapi di sisi lain menyebutkan secara tegas bahwa penilaian dua kali tersebut akan terjadi nanti 20 tahun lagi.

Mahkamah tidak menggunakan frasa “ ... setidaknya akan berulang kembali sampai 20 (dua puluh) tahun mendatang”, tetapi menggunakan frasa, “... setidaknya akan berulang kembali pada 20 (dua puluh) tahun mendatang”

Adanya kecacatan yuridis dalam pertimbangan hukum Mahkamah itu, semakin menorehkan tinta kelemahan argumentasi konstitusional dari putusan Mahkamah yang memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PAN Resmi Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju Pilkada Sulteng

PAN Resmi Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Sesalkan Tak Ada Pihak Bertanggung Jawab Penuh atas Peretasan PDN, Anggota DPR: Ini Soal Mental Penjabat Kita...

Sesalkan Tak Ada Pihak Bertanggung Jawab Penuh atas Peretasan PDN, Anggota DPR: Ini Soal Mental Penjabat Kita...

Nasional
Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada 'Back Up', Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada "Back Up", Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Nasional
Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Nasional
“Saya kan Menteri...”

“Saya kan Menteri...”

Nasional
Zulhas Sempat Kecewa PAN Hanya Dapat 48 Kursi DPR RI pada Pemilu 2024

Zulhas Sempat Kecewa PAN Hanya Dapat 48 Kursi DPR RI pada Pemilu 2024

Nasional
Politikus PDI-P Ingatkan Pemerintah Hati-hati dalam Penegakan Hukum

Politikus PDI-P Ingatkan Pemerintah Hati-hati dalam Penegakan Hukum

Nasional
Zulhas Ngaku Sudah Serap Ilmu Jokowi, Targetkan PAN Minimal Posisi 4 di Pemilu 2029

Zulhas Ngaku Sudah Serap Ilmu Jokowi, Targetkan PAN Minimal Posisi 4 di Pemilu 2029

Nasional
Politikus PDI-P Nilai Pemeriksaan Hasto Erat dengan Politik Hukum, Anggap Kasus Harun Masiku Musiman

Politikus PDI-P Nilai Pemeriksaan Hasto Erat dengan Politik Hukum, Anggap Kasus Harun Masiku Musiman

Nasional
Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Nasional
Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Nasional
Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Nasional
Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Nasional
Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com