Sejatinya, Sukarno berkomitmen untuk mencapai perdamaian global dan menentang perang serta kekuasaan militer yang dominan.
Ia memperjuangkan pemerintahan dunia yang adil dan berdasarkan persatuan dan kerjasama antara negara-negara, yang dikenal dengan konsep “Moralitas Kemanusiaan.”
Perdamaian global itulah yang kemudian diidamkan Sukarno bakal menciptakan Kesetaraan dan Keadilan Sosial. Ia sangat vokal dalam memperjuangkan dua konsep itu, sejak sebelum menjadi presiden pertama Indonesia.
Guna mewujudkannya, ia mengusulkan konsep “Trisakti” yang berfokus pada kesetaraan ekonomi, politik, dan budaya. Sukarno juga memperjuangkan nasionalisasi sumber daya alam dan redistribusi kekayaan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.
“Bagaimana mungkin sebuah negara hidup berdampingan dalam damai saat pangkalan-pangkalan militer dan benteng-benteng ekonomi di sekelilingnya digunakan untuk menumbangkan atau memanipulasi aktivitas domestik negara itu? Bagaimana bisa sebuah negara dapat hidup berdampingan dalam damai ketika kekuatan asing mendominasi kebijakannya? Bagaimana bisa sebuah negara bertetangga dalam damai dengan negara-negara yang mencegah penegakan sistem sosial dan ekonomi yang sesuai dengan identitas nasional negara itu sendiri?” ujar Sukarno pada Konferensi ke-2 Gerakan Non-Blok (GNB) di Kairo, Mesir, pada 6 Oktober 1964.
Hadirin yang terdiri dari perwakilan 47 negara tersentak. Sukarno tegas menolak pandangan Josip Broz Tito, pemimpin Yugoslavia dan salah satu pencetus GNB, yang menginginkan GNB menempuh langkah moderat dalam menghadapi Blok Barat dan Timur dengan mencoba politik hidup berdampingan dalam damai.
Menurut Sukarno, sikap pasif seperti itu justru membuat negara-negara Non-Blok yang secara politik dan ekonomi lemah, hanya akan menjadi bulan-bulanan dua blok besar tersebut.
Guna mewujudkan perdamaian sejati, pertama, GNB harus memiliki kekuatan politik setara dengan blok lain. Caranya, dengan konfrontasi.
The New York Times yang meliput konferensi melaporkan bagaimana pandangan ekstrem Sukarno mengagetkan Tito.
Pemimpin Yugoslavia itu bahkan mengolok-olok Sukarno sebagai “Goldwater dari Asia”, merujuk pada Barry Goldwater, calon presiden Amerika Serikat dalam Pemilu 1964 yang terkenal bersikap militan, provokatif, dan kerap mengadvokasi perang dalam kampanyenya.
Alhasil, delegasi Indonesia dan Yugoslavia saling berdebat hebat kala merumuskan hasil konferensi.
Namun, Sukarno punya dasar yang kuat atas seluruh argumentasinya. Indonesia tengah bersitegang langsung dengan apa yang ia sebut dengan neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme (Nekolim) Inggris di Malaysia.
Pandangan di Kairo tersebut begitu menggambarkan kepribadian politik Sukarno pada tahun terakhir ia berkuasa: ekstrem, paranoid, dan nekat.
Karakter inilah yang kemudian menyetir Demokrasi Terpimpin dan menjadikan sejarahnya begitu romantik untuk dibahas.
Tak puas dengan GNB dan geliat PBB yang melempem, Sukarno coba membentuk institusi penegak perdamaian dunianya sendiri melalui the Conference of the New Emerging Forces (Conefo), pada 7 Januari 1965.
Tiga belas hari berselang, Sukarno kembali menorehkan sejarah. Hingga kini, ia jadi satu-satunya presiden yang memerintahkan negaranya angkat kaki dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 20 Januari 1965.
Maka menjadi mudah dipahami bila Sukarno dikenal sebagai kritikus keras imperialisme dan kapitalisme.
Ia percaya bahwa dominasi dan eksploitasi ekonomi oleh negara-negara Barat harus diakhiri dan digantikan dengan sistem yang lebih adil dan berkeadilan. Ia menjelma jadi pendukung utama gerakan anti-imperialisme dan gerakan sosialis di seantero dunia.
Sukarno jelas akan tertohok menyaksikan penerus Paman Mao yang ia kagumi, melancarkan neokapitalisme di Afrika.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.