Ketika para perusuh melempar batu ke ruko yang ia maksud, Ngalimun bersama temannya berada di dekat ruko tersebut. Tak sengaja, entah siapa pelempar batu tersebut, betis kaki kirinya terkena pantulan batu dengan sangat keras.
"Oh waktu itu pas saya sama temen saya, waktu itu timpuk-timpukan ya, nimpuk (ruko) ini. Enggak kena karena ada anak kecil kayaknya. Terus kena saya, batu mental, kena saya," katanya sambil menunjuk betis kirinya.
Sudah 25 tahun tragedi kelam itu berlalu, Ngalimun menyebut masih banyak para pedagang dengan etnis Tionghoa, yang dulu menjadi korban penjarahan dan amukan massa, saat ini masih menjual barang dan jasanya di kawasan Glodok.
"Tuh, sebelah situ berderet semua tuh yang pedagang lama. Jualan lagi," katanya seraya menunjuk deretan ruko yang dimaksud.
Mengingat tragedi mengerikan itu, Ngalimun mengaku sangat bersyukur karena ia dan keluarganya diberikan rasa aman. Jelambar yang bertempat di Jakarta Barat menjadi lokasi rumahnya saat itu. Ia juga bertetangga dan berdampingan dengan masyarakat keturunan Tionghoa.
Saat kerusuhan, warga pribumi tempat ia tinggal berbondong-bondong membantu mereka yang terancam. Namun memang, daerah Jelambar tidak menjadi pusat kerusuhan karena sasaran amukan massa saat itu ialah pertokoan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa.
"Jadi enggak usah minta bantuan, tetangga-tetangga sudah pada saling bantu, ngelindungin. Tapi kebetulan kalau di wilayah permukiman enggak ada kerusuhan. Justru kan targetnya pertokoan ini," katanya.
Perlu diketahui, pada tanggal 13 Mei hingga 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998.
Penyebab pertama yang memicu terjadinya Kerusuhan Mei 1998 adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997.
Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar juga dihentikan.
Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.
Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak. Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti.
Tewasnya keempat mahasiswa tersebut pun menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi.
Aksi tersebut menyebar dengan kerusuhan yang terjadi di kota-kota lainnya dan menyebabkan penjarahan dan pembakaran.
Seminggu setelah aksi itu tak kunjung berhenti, tepatnya 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengalihkan kekuasaan kepada Wakil Presiden saat itu, BJ Habibie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.