JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai tukang parkir berseragam hijau tua terlihat sibuk membereskan barisan sepeda motor yang terparkir di kawasan Plaza Glodok, Jakarta. Ngalimun (64), namanya.
Sesekali ia menghampiri orang-orang, yang didominasi oleh karyawan toko, yang ingin mengeluarkan kendaraannya dari padatnya motor di kawasan perbelanjaan itu.
"Makasih, Bang," katanya seraya menerima selembar uang Rp 2.000 yang diberikan orang itu di depan parkiran ruko Glodok, Jakarta, Rabu (17/5/2023).
Menilik ke belakang, Ngalimun adalah salah satu saksi penjarahan dan kerusuhan tahun 1998 di kawasan Plaza Glodok. Menolak lupa, pada tahun 1998, Plaza Glodok dan daerah sekitarnya menjadi salah satu sasaran para penjarah melakukan kerusuhan.
Di tempat ini pula, kekerasan terhadap etnis Tionghoa terjadi sampai berujung para pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa.
Baca juga: Han dan Kisah-kisah Pilu Saksi Kerusuhan Jakarta Mei 1998: Saat Penjarahan hingga Pembakaran Melanda
Ngalimun terdiam sejenak. Terlihat sudah tidak ada karyawan yang menghampiri untuk memberinya uang Rp 2.000 dan meminta motornya dikeluarkan.
"Dulu (pekerjaan saya) sudah begini juga, jadi petugas juga di sini," tuturnya membuka pembicaraan dengan Kompas.com dan menunjukkan seragam yang dikenakannya.
Ngalimun mulai mengenai kerusuhan 1998 yang terjadi di depan matanya.
Tiba-tiba, kata dia, puluhan ribu orang, yang entah siapa dan dari mana asalnya, melemparkan batu-batu dan menghancurkan mal dan ruko di kawasan Glodok. Lupa-lupa ingat, Ngalimun mengatakan, kejadian itu terjadi sekitar 12 Mei 1998, awal-awal kerusuhan meletus di Jakarta.
"Tiba-tiba habis kejadian Trisakti itu, tanggal 12 itu, agak lupa saya, tahu-tahu massa dari mana itu pada nimpukin gedung-gedung yang ada," kata dia sambil mengayunkan tangannya ke atas, memperagakan para perusuh saat melempar batu.
Baca juga: Mei 1998, Saat Jakarta Dilanda Kerusuhan Mencekam dan Ditinggal Para Penghuninya...
Ngalimun mengatakan, usai para perusuh merusak bangunan pertokoan tersebut, keesokan harinya para perusuh mulai menjarah barang-barang yang ada. Mulai dari barang elektronik, seperti TV, radio, kulkas, dan bahan keperluan, seperti pakaian dan sepatu.
"Nimpukin gedung kan awalnya, besok harinya baru mulai jarah-jarahan. Pertamanya belum ada," katanya berkisah.
"Pas saya ke sini itu orang-orang pada bawa gerobak, isinya TV, radio, macam-macam," tambahnya.
Tak hanya merusak bangunan dan penjarahan, Ngalimun juga menyaksikan para korban operasi sistematis zaman Orde Baru membakar mal kawasan pecinan Glodok, seperti Plaza Glodok dan Harco Glodok. Pria itu menyebut, kerusuhan berlangsung selama kurang lebih 5 hari.
"Yang kebakar nih, Harco (Glodok) sama Plaza (Glodok). Kalo (ruko) sini enggak (dibakar). Tapi ruko ini kan ancur nih, dilempar batu, kacanya tuh (pecah)," ceritanya sambil menunjuk bangunan yang dimaksud, yang saat ini telah direnovasi.
Baca juga: Kilas Balik 25 Tahun Reformasi, Potret Mahasiswa Kuasai Gedung DPR RI
Ketika para perusuh melempar batu ke ruko yang ia maksud, Ngalimun bersama temannya berada di dekat ruko tersebut. Tak sengaja, entah siapa pelempar batu tersebut, betis kaki kirinya terkena pantulan batu dengan sangat keras.
"Oh waktu itu pas saya sama temen saya, waktu itu timpuk-timpukan ya, nimpuk (ruko) ini. Enggak kena karena ada anak kecil kayaknya. Terus kena saya, batu mental, kena saya," katanya sambil menunjuk betis kirinya.
Sudah 25 tahun tragedi kelam itu berlalu, Ngalimun menyebut masih banyak para pedagang dengan etnis Tionghoa, yang dulu menjadi korban penjarahan dan amukan massa, saat ini masih menjual barang dan jasanya di kawasan Glodok.
"Tuh, sebelah situ berderet semua tuh yang pedagang lama. Jualan lagi," katanya seraya menunjuk deretan ruko yang dimaksud.
Mengingat tragedi mengerikan itu, Ngalimun mengaku sangat bersyukur karena ia dan keluarganya diberikan rasa aman. Jelambar yang bertempat di Jakarta Barat menjadi lokasi rumahnya saat itu. Ia juga bertetangga dan berdampingan dengan masyarakat keturunan Tionghoa.
Saat kerusuhan, warga pribumi tempat ia tinggal berbondong-bondong membantu mereka yang terancam. Namun memang, daerah Jelambar tidak menjadi pusat kerusuhan karena sasaran amukan massa saat itu ialah pertokoan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa.
"Jadi enggak usah minta bantuan, tetangga-tetangga sudah pada saling bantu, ngelindungin. Tapi kebetulan kalau di wilayah permukiman enggak ada kerusuhan. Justru kan targetnya pertokoan ini," katanya.
Perlu diketahui, pada tanggal 13 Mei hingga 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998.
Penyebab pertama yang memicu terjadinya Kerusuhan Mei 1998 adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997.
Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar juga dihentikan.
Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.
Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak. Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti.
Tewasnya keempat mahasiswa tersebut pun menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi.
Aksi tersebut menyebar dengan kerusuhan yang terjadi di kota-kota lainnya dan menyebabkan penjarahan dan pembakaran.
Seminggu setelah aksi itu tak kunjung berhenti, tepatnya 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengalihkan kekuasaan kepada Wakil Presiden saat itu, BJ Habibie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.