JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, menilai bahwa aturan baru KPU terkait teknis penghitungan keterwakilan bakal calon (bacaleg) legislatif perempuan menghalangi pencapaian target afirmasi perempuan di parlemen.
"Aturan KPU itu tidak sejalan dengan semangat para perempuan yang hingga saat ini berupaya untuk meningkatkan keterwakilannya di parlemen," kata perempuan yang akrab disapa Rerie itu dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/5/2023).
Ia menyebut bahwa aturan baru ini berpotensi mengurangi keterwakilan perempuan di parlemen jadi di bawah 30 persen.
Baca juga: KPU Diminta Jeli Periksa Pendaftaran Bacalon DPD Terkait Eks Koruptor dan Kader Partai
Menurutnya, ini merupakan wujud rendahnya komitmen mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen oleh penyelenggara pemilu dan pemangku kebijakan.
Rerie khawatir, upaya sejumlah pihak untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen akan kendor, terlebih masalah faktual di lapangan memang menunjukkan sulitnya upaya pengkaderan dan pencarian bacaleg perempuan.
Ia menyinggung aturan lama KPU untuk Pemilu 2019 yang dianggapnya bisa memaksa semua pihak untuk lebih gigih melakukan pendidikan politik kepada perempuan dan memaksa partai politik untuk berupaya memenuhi kuota pencalegan perempuan.
"Peraturan KPU sebelumnya lebih tegas mensyaratkan batas minimal 30 persen bakal calon legislatif perempuan kepada partai politik peserta pemilu," ujar kader Partai Nasdem itu.
Rerie berpendapat, aturan baru KPU ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang secara tegas mengamanatkan bahwa daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Baca juga: KPU Diminta Jeli Periksa Pendaftaran Bacalon DPD Terkait Eks Koruptor dan Kader Partai
Sebagai informasi, aturan baru KPU ini termuat dalam Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
KPU membuka kemungkinan pembulatan desimal ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Hal ini berbeda dengan beleid sejenis untuk Pemilu 2019, yaitu Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018, yang menerapkan pembulatan desimal ke atas.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Baca juga: UPDATE Hari Keempat, Baru 59 Bacalon DPD Daftar ke KPU
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.
KPU RI menyebut bahwa diterbitkannya ketentuan ini sudah atas sejumlah proses, termasuk rapat konsultasi di DPR RI dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih berstatus rancangan.
"Dan terkait dengan penggunaan penarikan desimal hasil perkalian dengan presentase tersebut, itu menggunakan standar pembulatan matematika, bukan kami membuat norma dan standar baru dalam matematika," ujar Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, Rabu (5/3/2023).
"Kami telah berkomunikasi dengan partai politik. Pada dasarnya partai politik karena affirmative action (untuk keterwakilan perempuan 30 persen) bukanlah hal baru, mereka juga punya semangat untuk mendorong caleg-caleg perempuan lebih banyak lagi. Itu yang ditangkap seperti itu," tambahnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.