Padahal saat kasus Sambo merebak, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo telah menyampaikan agar seorang bawahan harus berani menolak perintah atasan jika perintahnya itu menyalahi hukum.
Bagaimanapun polisi adalah pengayom masyarakat, yang harus memberikan contoh. Sementara dalam persidangan terungkap, Teddy menyebut banyak polisi menggunakan sabu sitaan.
Seolah pernyataannya itu menunjukkan kondisi sebenarnya dari buruknya institusi Polri yang kotor dan kumuh.
Dan perlahan-lahan, satu persatu “bangkai” itu tercium publik, melalui kasus-kasus yang terus bermunculan. Bukan tidak mungkin semakin lama kasus dalam tubuh institusi Polri ini akan muncul secara sporadis.
Sebagaimana disampaikan Irjen (Purn) Benny Mamoto, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional, kasus narkoba memang sangat menggiurkan dalam institusi Polri. Fakta ini berbahaya, karena menjadi preseden buruk bagi citra institusi Polri.
Konon lagi ketika Kapolri bersusah payah membangun image melalui Polri Presisi sebagai bangunan citra baru, upaya tersebut menjadi terasa sia-sia. Kasus Sambo menjadi pukulan pertama yang paling menohok bagi Polri.
Hingga muncul wacana yang satir untuk membubarkan institusi Polri dan membangunnya kembali yang lebih bersih.
Namun itu bukan solusi tepat, mengingat persoalannya bukan pada institusinya, namun pada orang-orang yang bekerja di dalamnya.
Sebaik apapun aturan hukum yang melandasi filosofi kerja-kerja polri jika tidak dilaksanakan, maka akan menjadi aturan kosong.
Hal ini setidaknya dibuktikan dengan kemunculan dua kasus, ketika anak seorang petinggi Polri melakukan kekerasan di sekolahnya dan seolah mendapat dukungan, karena anak seorang pembesar Polri.
Begitu juga kasus termutakhir pemukulan seorang remaja, oleh anak seorang AKBP polisi yang tidak saja terbukti di video, namun sang ayah justru menjadi orang yang tidak melerai, namun melakukan pembiaran.
Apa jadinya jika bukti rekaman itu tidak ada, bukan tidak mungkin kasusnya hanya akan terbungkus dan dipeti-eskan. Namun dua kasus itu juga menjadi semacam bukti, bahwa bukan tidak mungkin banyak kasus lainnya.
Layaknya puncak gunung es yang tidak terbongkar atau dibungkam dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang anggota Polri.
Kebijakan atau aturan apalagi yang harus ditegaskan oleh Kapolri agar bawahan dalam institusi yang dipimpinnya tidak lagi melakukan tindakan yang melawan hukum.
Reformasi kultural di tubuh Polri harus terus didorong lebih maju. Kapolri juga sudah menegasi soal pengawasan melekat, agar para pimpinan menjadi contoh bagi bawahan.
Terutama bagaimana meluruskan kembali kesalahan fatal, menjalankan relasi kuasa yang sebagaimana dituturkan oleh orangtua Dody, secara teori relasi kuasa itu susah dijalankan dalam situasi di lapangan.
Lantas adakah solusi kedepan yang bisa ditawarkan institusi Polri yang lebih kongkret, membumi untuk menjembatani agar persoalan relasi kuasa yang keblabalasan ini tak lagi terulang.
Sehingga seseorang yang berada dalam posisi seperti Bharada Eliezer atau AKPB Dody Prawiranegara, tidak justru masuk dalam jebakan batman akibat ulah atasannya sendiri yang jelas-jelas sesat jalan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.