Hal yang paling menarik dari terbongkarnya penyalahgunaan barang bukti sabu-sabu alias "trawas" dalam kasus Teddy Minahasa adalah keterlibatan AKBP Dody, Kapolres Bukittinggi.
Kemudian jabatan tersebut digantikan oleh AKBP Wahyuni Sri Lestari. Dody pun dimutasi ke Polda Sumatera Barat menjadi Kabagada Rolog Polda Sumatera Barat karena kasus narkoba tersebut.
Menariknya karena ternyata berdasarkan cecaran hakim dalam persidangan, tak ada indikasi lain dari Dody selain hanya menjalankan perintah atasan sebagai bentuk loyalitasnya yang salah kaprah. Tak apapun yang didapat Dody selain amsyong!
Realitas itu dibeberkan Dody dalam persidangan. Tak ada keuntungan imbal-balik atas transaksi penjualan sabu tersebut. Baik dalam wujud uang, maupun kenaikan pangkat atau promosi jabatan. Semuanya murni soal loyalitas! Mengapa bisa?
Ketakutan yang blablas
Seperti halnya kasus Ferdy Sambo yang melibatkan Bharada Richard Eliezer, ajudannya, keduanya memiliki kesamaan dalam hal, relasi kuasa antara bawahan dan atasan yang membuat ajudannya melaksanakan perintah yang bertentangan dengan kewajibannya sebagai polisi.
Persoalan relasi kuasa sebagaimana disampaikan Eliezer adalah ganjalan terbesarnya dalam kasus Sambo.
Ketakutan seorang Bharada Eliezer yang berpangkat paling bontot dengan seorang atasan Jenderal berbintang dua dan menjabat kepalanya pengadil para polisi, menjadikan hubungan itu menjadi jomplang secara relasi kuasa dalam kaitan perintah.
Hal ini membuat Bharada Eliezer tak memiliki alasan untuk menolak perintah langsung dari seorang Sambo, meskipun harus membunuh sejawatnya yang berpangkat lebih tinggi, yaitu Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Sekali lagi, di antara mereka tak ada kasus atau tendensi dendam yang menjadi latar belakang Bharada Eliezer bersedia menghabisi Brigadir Joshua, semua karena perintah atasan.
Dalam kasus sabu yang melihatkan Jenderal bintang dua Teddy Minahasa, Dody berada di posisi yang kurang lebih sama dalam hubungan relasi kuasa.
Dalam persidangan bahkan terungkap bahwa Teddy sebagai atasannya Teddy Minahasa adalah sosok yang pendendam, perfeksionis, pernah menjadi ajudan khusus presiden era Jusuf Kalla.
Teddy adalah salah satu polisi terkaya versi LHKPN 2021 (Rp 29 miliar), dan memiliki riwayat karier yang cepat dan melejit saat memperoleh bintangnya. Hal itu membuat Doddy merasa serba salah untuk menolak ketiga kalinya perintah sang jenderal.
Kata Dody dalam persidangan jika Kapoldanya bukan Teddy, saya akan frontal menolaknya. Sikap ini memang dibuktikan dengan pernyataan dari orangtua Doddy, yang tidak lain adalah Irjen Pol (Purn) Maman Supratman, yang pernah menjabat sebagai Kapolda Riau dan Wakapolda Sumut.
Relasi kuasa salah kaprah
Persoalan ini agaknya harus menemukan titik solusi dari banyak persoalan dalam jenjang relasi kuasa di institusi kepolisian.
Padahal saat kasus Sambo merebak, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo telah menyampaikan agar seorang bawahan harus berani menolak perintah atasan jika perintahnya itu menyalahi hukum.
Bagaimanapun polisi adalah pengayom masyarakat, yang harus memberikan contoh. Sementara dalam persidangan terungkap, Teddy menyebut banyak polisi menggunakan sabu sitaan.
Seolah pernyataannya itu menunjukkan kondisi sebenarnya dari buruknya institusi Polri yang kotor dan kumuh.
Dan perlahan-lahan, satu persatu “bangkai” itu tercium publik, melalui kasus-kasus yang terus bermunculan. Bukan tidak mungkin semakin lama kasus dalam tubuh institusi Polri ini akan muncul secara sporadis.
Sebagaimana disampaikan Irjen (Purn) Benny Mamoto, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional, kasus narkoba memang sangat menggiurkan dalam institusi Polri. Fakta ini berbahaya, karena menjadi preseden buruk bagi citra institusi Polri.
Konon lagi ketika Kapolri bersusah payah membangun image melalui Polri Presisi sebagai bangunan citra baru, upaya tersebut menjadi terasa sia-sia. Kasus Sambo menjadi pukulan pertama yang paling menohok bagi Polri.
Hingga muncul wacana yang satir untuk membubarkan institusi Polri dan membangunnya kembali yang lebih bersih.
Namun itu bukan solusi tepat, mengingat persoalannya bukan pada institusinya, namun pada orang-orang yang bekerja di dalamnya.
Sebaik apapun aturan hukum yang melandasi filosofi kerja-kerja polri jika tidak dilaksanakan, maka akan menjadi aturan kosong.
Hal ini setidaknya dibuktikan dengan kemunculan dua kasus, ketika anak seorang petinggi Polri melakukan kekerasan di sekolahnya dan seolah mendapat dukungan, karena anak seorang pembesar Polri.
Begitu juga kasus termutakhir pemukulan seorang remaja, oleh anak seorang AKBP polisi yang tidak saja terbukti di video, namun sang ayah justru menjadi orang yang tidak melerai, namun melakukan pembiaran.
Apa jadinya jika bukti rekaman itu tidak ada, bukan tidak mungkin kasusnya hanya akan terbungkus dan dipeti-eskan. Namun dua kasus itu juga menjadi semacam bukti, bahwa bukan tidak mungkin banyak kasus lainnya.
Layaknya puncak gunung es yang tidak terbongkar atau dibungkam dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang anggota Polri.
Menunggu solusi baru
Kebijakan atau aturan apalagi yang harus ditegaskan oleh Kapolri agar bawahan dalam institusi yang dipimpinnya tidak lagi melakukan tindakan yang melawan hukum.
Reformasi kultural di tubuh Polri harus terus didorong lebih maju. Kapolri juga sudah menegasi soal pengawasan melekat, agar para pimpinan menjadi contoh bagi bawahan.
Terutama bagaimana meluruskan kembali kesalahan fatal, menjalankan relasi kuasa yang sebagaimana dituturkan oleh orangtua Dody, secara teori relasi kuasa itu susah dijalankan dalam situasi di lapangan.
Lantas adakah solusi kedepan yang bisa ditawarkan institusi Polri yang lebih kongkret, membumi untuk menjembatani agar persoalan relasi kuasa yang keblabalasan ini tak lagi terulang.
Sehingga seseorang yang berada dalam posisi seperti Bharada Eliezer atau AKPB Dody Prawiranegara, tidak justru masuk dalam jebakan batman akibat ulah atasannya sendiri yang jelas-jelas sesat jalan!
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/04/06000041/meluruskan-relasi-kuasa-sesat-di-kepolisian