Dalam tulisan Albalaziri dikutip sebuah riwayat yang menuliskan perjanjian Nabi dengan non-Muslim yang di antara pasalnya disebutkan sebuah redaksi cukup menarik, yaitu: "Seorang uskup tidak mesti mengubah keuskupannya, begitu pula seorang rahib tidak perlu mengubah kerahibannya, dan begitu pula seorang pendeta tidak perlu mengubah kependetaannya" (h. 76).
Dalam kesempatan lain, Nabi pernah bersabda sebagaimana dikutip dalam buku Albalaziri: "Barangsiapa yang tetap dalam agama Yahudi atau Nashrani maka ia tidak akan dipersoalkan" (h. 82).
Bahkan di dalam Kitab Ibn Katsir mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memberikan izin kepada delegasi tokoh lintas agama, khususnya mereka yang beragama Nashrani Najran melakukan kebaktian di samping masjid Nabi ketika mereka melakukan kunjungan persahabatan dengan Nabi. (Jilid IV h. 91).
Apa yang telah dilakukan Nabi juga dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Kebijakannya terhadap penduduk Iliyah (Palestina) ditegaskan bahwa: "Gereja-gereja mereka tidak dapat ditinggali (oleh orang-orang Islam), dirobohkan, atau dikurangi, termasuk pagar-pagarnya, begitu pula salib-salib mereka dan apa saja dari kekayaan mereka. Mereka tidak boleh dipaksa atas agamanya, dan tidak boleh ada di antara mereka yang mendapatkan mudharat". (Lihat kembali artikel terdahulu tentang Piagam Aeliya).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Amr bin 'As, memberikan kebebasan sepenuhnya umat non-Muslim melakukan ibadah dan merawat rumah-rumah ibadah mereka dengan baik.
Ia memberikan jaminan kebebasan beragama kepada seluruh wilayah yang dikuasainya dan menganjurkan kepada pemerintah di tingkat daerah agar menjamin hak-hak beribadah bagi warga non-Muslim.
Sir Thomas Arnold pada 1950-an, pernah membantah rekan-rekannya dari kalangan orientalis yang mengatakan Islam berkembang di seantero dunia karena pedang.
Ia berpendapat bahwa banyaknya orang beralih ke agama Islam karena keluhuran ajaran dan kemuliaan pemimpinnya, sama sekali bukan karena ancaman atau tekanan terhadap mereka.
Bulan suci Ramadhan dikenal memiliki banyak kemuliaan, mulai dari bulan suci, bulan penuh rahmat, hingga bulan syahru jihad atau bulan jihad.
Dikatakan syahru jihad, karena secara historis pelaksanaan Ramadhan pada masa Nabi Muhammad SAW bertepatan dengan peristiwa perang dan kemenangan yang diraih umat Islam.
Jihad kerap diartikan dengan makna perang (qital), padahal makna esensial yang relevan dengan konteks saat ini adalah kemampuan menahan diri untuk tidak melakukan kerusakan. Oleh karena itulah Ramadhan disebut juga dengan dengan syahrul jihad.
Nabi Muhammad SAW seusai memenangi perang mengatakan, roza'kna min jihadil asgar ila jihadil akbar (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar).
Kemudian para sahabat bertanya,"lalu seperti apa jihad akbar itu ya, Rasulullah?"
Rasulullah menjawab, jihadul akbar jihadul nafs, jihad akbar itu adalah perang melawan diri sendiri untuk melawan diri sendiri dari segala hawa nafsu yang bisa menghancurkan baik diri sendiri maupun orang lain dan itulah esensi dari berpuasa.
Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman suku, agama, ras dan budaya perlu menamkan nilai-nilai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan, memupuk terus toleransi untuk menghindari perpecahan.
Berjihad melawan diri sendiri, melawan keegoan kita sendiri, sesungguhnya adalah jihad kita bersama untuk mengokohkan NKRI tercinta. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.