Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mayjen TNI Rido Hermawan, M.Sc
Pengajar Lemhannas

Tenaga Ahli Pengajar Bidang Kewaspadaan Nasional di Lemhannas

Mencari Manusia Indonesia Paripurna

Kompas.com - 12/04/2023, 14:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

IBARAT sungai yang mengalami pendangkalan, kesadaran homo sapiens kini semakin cetek dan rapuh; mudah dihanyutkan oleh arus informasi dan larut histeria oleh pesona media dan benda.

Segala di sekitarannya melulu dipersepsi sebagai objek eskternal dan mandiri, yang terpisah dari kesadaran.

Hasil kreativitas, imajinasi, akal budi, harapan, visi, daya hidup, nilai-nilai kemanusiaan, telah diringkus menjadi komoditi dan avatar, yang kemudian dipajang di altar transaksi dan pemujaan.

Di Indonesia, misalnya, hal tersebut mudah sekali kita temukan dalam lalu lampah keseharian manusianya.

Itulah gambaran reifikasi (pembendaan), sebuah konsep, yang diperkenalkan oleh pemikir Teori Kritis, György Lukacs, ketika mengkritik relasi sosial ekonomi, yang sejatinya dikonstruksi oleh sistem kapitalisme, tapi kemudian dianggap sebagai hal yang alami.

Lukacs menulis, “Reifikasi adalah memperlakukan relasi sosial sebagai benda.”

Masalahnya adalah, reifikasi telah terjadi dan kadung menjangkiti seluruh lini kehidupan kita. Tak hanya dalam bidang ekonomi dan politik—sebagai sumber awal—reifikasi malah telah merasuki dunia pendidikan, kesehatan, sains-teknologi, ilmu pengetahuan, seni, kebudayaan, dan bahkan agama—yang mulai lindap sakralitasnya.

Ceramah keagamaan, mulai dijejali balutan sensasi kebendaan dan kesenangan jasmani, sedari iming-iming kekayaan jika menunaikan sembahyang Dhuha, atau bersedekah hingga konsep hijrah dan jihad demi meraih surga yang ditemani 72 bidadari.

Cara beragama pun tak jauh beda. Sudah hampir dua dasawarsa ke belakang, Romadhon hanya kelihatan semarak di ruang iklan televisi atau media sosial, dan terutama lagi, ketika waktu berbuka puasa tiba.

Fenomena bukber yang mulai menggejala di masyarakat kita, menafikan ranah keintiman kesalehan individu yang mengejawantah jadi kesalehan sosial.

Puasa Ramadhan tinggal menjadi ajang perayaan pesta makan berlimpah-ruah. Hal ini, sejatinya bentuk dari kemerosotan spirit utama berpuasa guna menahan diri dari segala yang merusak diri.

Ini baru fenomena dalam Islam, belum dengan agama lain yang tumbuh di Indonesia.

Apakah proses pendangkalan kesadaran manusia ini akan terus berlangsung tiada henti hingga kepunahan kemanusiaan kita? Apakah de-reifikasi (melawan arus pembendaan) merupakan sesuatu yang mungkin?

Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Tergantung bagaimana kita menghela tali kekang peradaban dari sekarang.

Menjalani kehidupan yang sadar di era disrupsi dengan kecerdasan artifisialnya, sungguh bukan perkara mudah.

Sebagai anak kandung Nusantara, kita perlu merenungkan sekali lagi apa yang pernah diajukan Sutan Takdir Alisjahbana, hampir seabad silam, tentang upaya intelektualnya menemukan sosok Manusia Indonesia dalam esai Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang diterbitkan majalah Poedjangga Baroe pada 1935.

Saat ini, kita harus mengakui bahwa geliat penemuan itu belum lagi mencapai titik terang. Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi masih tetap belum menyentuh ranah yang sesungguhnya.

Sementara pada saat bersamaan, kita terus menerus dihantam dan berjibaku dengan pernak-pernik soal kekinian yang belum pernah ada presedennya.

“Dunia yang lepas kendali”, kata Anthony Giddens, telah melahirkan kegalauan eksistensial, sebagaimana yang telah terjadi di seantero dunia.

Stephen Hawking juga mencemaskan masa depan ras manusia yang terancam punah oleh kecerdasan artifisial.

KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) turut pula mengingatkan betapa, “agama kini sudah menjadi berhala.”

Mengapa kemajuan sains-teknologi malah berbalik mengancam eksistensi manusia? Mengapa agama gagal menunaikan misi luhurnya memanusiakan manusia?

Ibn Sina menukas, “Akar masalah bersumber dari manusia yang telah kehilangan kesadaran wijd?ni (mengada).”

Ibn Thufail menulis dalam kitab Hayy bin Yaqzhan (Hidup putra Kebangkitan; Alive son of Awakening), “Kita telah membunuh interior kemanusiaan sendiri atas nama kalam Tuhan dan sabda alam!”

Jalaluddin Rumi menggubah puisinya, “Sayap cinta kemanusiaan telah kita patahkan dan kini merangkak di kubangan lumpur materialisme.”

Pelanjut Rumi, Muhyidin Ibn ‘Arabi mengungkap, “Semua pengetahuan tanpa pengenalan diri (ma’rifah al-nafs) hanya bermuara pada kejahilan dan ilusi.”

Di Indonesia pada era awal kemerdekaan, ada Ki Ageng Suryomentaram yang mengajarkan pencapaian kebahagiaan melalui pengenalan Aku Asli/Sejati.

Sementara mistikus Iran, Seyyed Hossein Nasr menyerukan agar manusia kiwari mau membuka pintu-pintu pusat dirinya (axis mundi).

Merujuk tokoh-tokoh filsuf cum sufi tersebut, maka Hidup Berkesadaran merupakan aktualisasi dari tujuh kesadaran asasi, yaitu kesadaran: Ada, Asa (Hidup), Asyik (Cinta), Arif, Asli, Axis, dan Amal.

Sahabat pembaca yang budiman, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi telah membuka begitu banyak kemungkinan baru yang sebelumnya tak terbayangkan oleh kita. Sedangkan agama masih setia memberi arahan dan pedoman hidup.

Masalahnya, subjek atau agen utama sains-teknologi dan agama itu sendiri, yaitu manusia, kini tertatih-tatih dan telah lama dipojokkan oleh pencapaiannya sendiri.

Disebut tertatih-tatih karena harus mengimbangi perkembangan sains-teknologi yang melaju amat kencang dan berpotensi mengancam eksistensi kita sebagai induk semang semua produk teknologi.

Kecerdasan artifisial, misalnya, tidak saja telah merumahkan jutaan pekerja, tapi juga telah “memensiunkan” dini pelbagai kecerdasan kita.

Disebut terpojokkan karena selama ini pemahaman agama yang umumnya berkembang, terutama di Indonesia, telah memosisikan manusia sebagai objek indoktrinsi para penceramah agama, objek siraman rohani- sedemikian rupa sehingga agama pun telah menjadi berhala.

Karena pemahaman agama yang keliru itulah, maka manusia gagal menunaikan misinya yang luhur, yaitu memanusiakan manusia. Agama seolah gagal membangkitkan semua kecakapan terdalam dari eksistensi kemanusiaan.

Ki Ageng Suryomentaram berkata, “Selama kita belum hidup dengan Aku Sejati, maka kita takkan pernah meraih kebahagiaan.”

Menjadi tepat bila Seyyed Hossein Nasr menyerukan kita untuk hidup dengan axis kesadaran agar tak terbakar oleh api yang kita buat sendiri.

Kesadaran Aku Asli dan Axis itulah yang telah digemakan oleh Ibn Thufail agar kehidupan kita benar-benar selaras dengan swacipta-rasa-karsa, segenap perhatian, serta kewaskitaan.

Jika kita Hidup sebagai manifestasi Hayyu Qayyum, maka hidup kita menjadi Asyik yang penuh cinta, (Isyq), demikian senandung Ibn Sina dan Jalaluddin Rumi dalam puisi gubahan mereka.

Ibn ‘Arabi pun turut mengingatkan bahwa tanpa pengenalan diri (kesadaran ‘arif; ma’rifat al-nafs) maka semua pengetahuan, keahlian, dan pencapaian manusia akan kehilangan makna, dan kebahagiaan pun menjadi ilusi.

Perkembangan kiwari peradaban kita menunjukkan masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan—khususnya di Indonesia: ‘sihir’ gawai yang mengasingkan anak dari lingkungan sekitar, dunia medsos yang mengalihkan perhatian anak dari kehidupan nyata, minimnya empati dan sederet masalah mendasar lainnya.

Para orangtua modern terlampau sembrono memercayakan pertumbuhan anak mereka pada sebongkah alat—yang padahal mereka sendiri tak becus memakainya. Bagaimana Sembilan Kecerdasan Dasar Manusia bisa tumbuh sempurna jika pengasuhan kita tak bermutu begitu?

Kita memang tak diberi kesempatan untuk mengetahui segala sesuatu, karena kita merupakan bagian dari segala sesuatu itu. Demikianlah, sebagian jelas bukan keseluruhan.

Namun uniknya, kita dapat mengenali semua tentang diri hingga bilah paling anu—yang kemudian memantik Kesadaran mengada.

Inilah yang mendorong aktualisasi diri (kemanusiaan) kita yang tumbuh kembang, bernapas panjang, dan terarah melalui Dharma Bhakti/Akhlakul Karimah.

Tanpa pengenalan Diri, (makrifat al-nafs) maka semua pencapaian kita, jadi nirmakna, dan kebahagiaan pun hanya sekadar ilusi semata.

Refleksi diri sejati

Momentum dalam perjalanan hidup mestinya bukan hanya perkara kelahiran semata, atau pertemuan, perkawinan, perceraian, kecelakaan, kehilangan, kematian, atau pergantian tahun, tapi setiap waktu yang kita lalui hingga sampai di sini—sekarang.

Karena apa yang kita alami secara pribadi, adalah anugerah indah dari Tuhan, yang kita sebut kehidupan. Takkan ada cara untuk memutarnya mundur, bahkan mengulanginya lagi. Meskipun ingatan menyimpannya dalam kenangan.

Jadi syukurilah rambatan perjalanan usia kita, karena tanpa itu, kita takkan pernah tahu apa rahasia tersembunyi dibalik tabir yang bernama takdir.

Toh tak satu pun kita pernah meminta untuk diciptakan Tuhan, lalu dilahirkan sebagai anak siapa, beragama apa, dan berbangsa Indonesia atau yang lainnya.

Tapi yang pasti, kini kita telah menjadi manusia. Bermukim di bumi, hingga akhirnya mati. Cukupkah sampai di situ?

Sejatinya kita hanya sedang menunggu giliran menjadi seperti apa yang seharusnya terjadi. Karim Benzema sang pemain terbaik dunia 2022 itu tak bakal menyangka ia bakal memenangkan Ballon d’Or—saat empat rekannya di Real Madrid berpose dengan trofi dari ajang tahunan itu, pada 2021. Jauh sebelumnya tak sekalipun ia masuk daftar, bahkan sekadar sebagai nominasi.

Lionel Messi yang sudah tiga kali mengikuti Piala Dunia sebagai pemain terbaik sejagat, malah baru bisa meraih piala Jules Rimet itu pada perhelatan keempat yang diikutinya di Qatar, di antara debaran jantung bakal kalah dari Perancis.

Saudara-saudari kita di Cianjur takkan pernah menyangka, jika gempa kemudian meluluhlantakkan harapan mereka. Bencana yang terjadi dalam hitungan detik itu, dampaknya bahkan bisa bertahan hingga akhir hayat.

Apalagi bagi mereka yang kehilangan orang tercinta dalam hidupnya. Jelas itu bukan soal mudah untuk ditenggang.

Begitulah panggung raya kehidupan ini digelar Tuhan. Kita hanya seolah-olah ada padahal hanya diadakan dari ketiadaan yang non-eksisten. Lalu kembali meniada selama yang paling lama, dalam keberadaan-Nya.

“Padahal Allah lah yang menciptakanmu dan apa yang engkau perbuat itu.” (QS. Barisan [37]: 96).

Memang tak mudah memafhumi ayat itu. Tapi paling tidak kita jadi tahu, siapa pemain utama dan sutradara dalam semesta ciptaan ini. Maka menjadi penting bagi kita merenungi kehadiran diri sendiri dalam lautan Kehendak-Nya.

“Dan kalian takkan bisa menginginkan sesuatu kecuali jika Allah, Tuhan semesta alam menginginkannya.” (QS. At-Takwir [81]: 29)

Wajar bila Sakyamuni (Buddha Gautama) mengajari para muridnya dengan sebaris kalimat, “Keinginan adalah sumber penderitaan.” Semakin banyak keinginan, maka kian menderita lah anak manusia. Lantaran semua yang kita inginkan, tara pernah terwujud nyata.

Sebaliknya, yang sama sekali tidak kita inginkan, malah mawjud satu demi satu—hingga detik ini. Pahamilah itu, duhai Saudaraku.

Walakin, salah satu—dari sekian banyak kecenderungan manusia yang sukar dimengerti adalah; ia gemar melekatkan segenap diri pada benda-benda yang diciptakannya—termasuk pada manusia lain dengan segala labelnya: anak, orang tua, istri, suami, cucu, saudara, guru, murid, dan mantan. Kemelekatan itulah yang selalu berujung pada kesedihan, duka, lara, juga nestapa.

Pada kenyataannya, kita tak benar-benar bisa berbahagia dengan itu semua. Kebahagiaan tidak hadir dari luar diri, melainkan tumbuh dari kedirian sendiri, yang menyadari arti kehadiran kita di sini secara sederhana.

Sekali yang sungguh benar harus berarti. Tanpa cerapan nilai dan makna, kehidupan menjadi tak laik tuk dijalani. Sadarilah ini.

Lantaran kita dilahirkan di Indonesia, maka kita perlu menemukan arti keindonesiaan yang kita bawa sejak lahir. Bung Karno sudah memudahkan tugas kita dengan Pancasila yang digalinya.

Manusia Indonesia itu bertuhan yang esa. Kemanusiaannya adil dan beradab. Cenderung pada asas persatuan. Menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan dalam bermusyawarah. Terakhir, beritikad pada keadilan sosial di segenap penjuru kehidupan.

Selain Pancasila, Sang Proklamator juga mewariskan Manipol Usdek, Trisakti, Dasa Sila Bandung, Berdikari, dan juga Nasakom.

Dalam salah satu sesi wawancaranya dengan Berryl, seorang jurnalis Amerika pada 1966, beliau memberi taklimat, “Jika bangsaku berpegang teguh pada semua warisanku itu, niscaya mereka menjadi kuat sebagai sebuah bangsa, sebagai manusia.”

Dari situlah kita bisa menemukan khazanah Manusia Indonesia yang selama ini seperti hilang ditelan zaman. Semoga waktu kita cukup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com