JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) didorong untuk meminta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyelesaikan penyusunan Buku Putih Pertahanan yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara ketimbang menjadi orkestrator intelijen.
"Salah satu tugas yang hingga kini belum tereralisasi adalah penyusunan Buku Putih Pertahanan, yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat 4 UU Pertahanan Negara," kata Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas, dalam keterangan pers seperti dikutip pada Senin (3/4/2023).
Menurut Anton, semestinya Presiden Jokowi mengingatkan kepada Menhan untuk melaksanakan semua tugas yang tertera dalam Pasal 16 UU Pertahanan Negara itu, yang salah satunya soal penyusunan Buku Putih Pertahanan.
Baca juga: Usul Jokowi Supaya Menhan Orkestrasi Intelijen Dinilai Bikin Rumit
"Sebab, hingga kini, masih belum semua tugas yang secara eksplisit ada dalam pasal tersebut dilakukan oleh Menhan," ucap Anton.
Anton menyampaikan, gagasan Presiden Joko Widodo yang meminta Prabowo sebagai orkestrator intelijen pertahanan keamanan patut dipertimbangkan ulang.
"Sebab, langkah ini berpotensi untuk mengganggu tata kelola sektor keamanan di Indonesia," ujar Anton.
Menurut Anton, gagasan Jokowi itu jelas tidak sejalan dengan UU Nomor 17/2011 tentang Intelijen Negara.
Baca juga: Ide Jokowi Minta Menhan Orkestrasi Intelijen Bisa Picu Kemunduran Reformasi Hankam
Kementerian Pertahanan, kata Anton, adalah satu dari bagian dari penyelenggara intelijen negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 9e UU tersebut.
Akan tetapi, lanjut Anton, sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UU Intelijen Negara, fungsi koordinasi dijalankan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) bukan Kementerian Pertahanan.
"Dengan kata lain, ide tersebut jelas bertentangan dengan legislasi yang mengatur spesifik tentang intelijen negara," ucap Anton.
Anton melanjutkan, selain itu permintaan orkestrasi informasi intelijen pertahanan dan keamanan juga tidak sejalan dengan UU Pertahanan Negara. Sebab Pasal 16 UU Pertahanan Negara sudah jelas mengatur ruang lingkup pekerjaan dari Menteri Pertahanan.
"Sekalipun, Pasal 16 poin e membuka ruang Menhan untuk bekerja sama dengan pimpinan kementerian dan lembaga lain dalam menyusun dan melaksanakan renstra, bukan berarti Menhan dapat diberdayakan sebagai orkestrator intelijen pertahanan dan keamanan," papar Anton.
Baca juga: Ide Menhan Jadi Orkestrator Intelijen Dinilai Bertentangan dengan UU
Anton menilai gagasan menjadikan Menhan sebagai orkestrator intelijen justru membuka berpotensi memundurkan proses reformasi sektor keamanan yang tidak lagi meleburkan sektor pertahanan dan keamanan dalam satu organisasi, seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Menurut Anton, memberikan tugas tambahan kepada Menhan menjadi orkestrator intelijen hanya akan semakin menambah kompleks serta permasalahan baru dalam tata kelola intelijen negara.
"Jika merasa masih ada yang kurang dalam pengelolaan produk intelijen maka Presiden Jokowi semestinya dapat memanggil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ataupun Menko Polhukam untuk kemudian mendiskusikan perbaikan dalam hal tersebut," kata Anton.