Oleh: Adrian Wijanarko dan Azriel Gusmansyah
SEMPAT tersebar ke telinga kita berita tentang vaksinasi COVID-19 yang berasal dari bahan haram. Sontak, berita tersebut menyebabkan banyak orang yang pada saat itu ragu untuk melakukan vaksinasi.
Padahal pada saat itu Indonesia, bahkan dunia, sedang dalam situasi di mana pandemi yang cukup menghawatirkan.
Pada akhirnya kabar terkait vaksinasi COVID-19 yang mengandung bahan haram tidak dapat dibuktikan. Kabar tersebut merupakan berita bohong saja, atau yang lebih kita kenal dengan hoax news.
Pengembangan vaksin yang dilakukan telah disetujui oleh badan pengawasan pada berbagai negara untuk digunakan oleh masyarakat.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) juga telah menerbitkan penggunaan yang menggunakan standar penilaian mutu berlaku secara internasional.
Bahkan BPPOM menyatakan bahwa vaksin COVID-19 bebas dari bahan yang berbahaya bagi tubuh seperti pengawet, boraks dan formalin (Kominfo, 2021).
Tidak hanya terkait vaksinasi COVID-19, kita juga tidak asing dengan informasi yang beredar terkait isu negatif terkait kelompok Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) tertentu.
Di beberapa daerah, informasi yang tidak berlandasan terkait isu SARA sempat mengakibatkan konflik sosial di masyarakat.
Berita bohong atau yang dilebih dikenal dengan hoax news bukan merupakan hal baru. Sepertinya kita ‘kelelahan’ dalam upaya pemberatasan hoax news.
Padahal apabila hoax news tidak ditekan akan mengakibatkan konflik, baik secara vertikal maupun horizontal di masyarakat.
Berkembangnya hoax news tidak terlepas dari pertukaran informasi yang saat ini sangat cepat. Setiap individu memiliki akses langsung tidak hanya untuk menerima informasi saja, tapi untuk membagikan informasi ke ranah umum.
Perkembangan di era Informasi ini dapat dilihat dari akses publik terhadap informasi semakin mudah.
Ibarat dua sisi mata pisau, era informasi juga diikuti dengan sejumlah manfaat. Informasi yang ada akan menciptakan masyarakat yang sadar.
Informasi yang berbedar memberikan sejumlah pengetahuan yang baru kepada masyarakat. Pengetahuan ini membuat masyarakat sadar atas lingkungan yang terjadi baik dalam skala lokal ataupun internasional.
Selain itu, era informasi menyadarkan kita terhadap keterbukaan dan transparansi. Era informasi menjadikan masyarakat menjalankan peran dalam konteks demokrasi, yakni dengan bentuk pengawasan.
Beberapa kasus terjadi di dalam negeri ketika masyarakat mendorong pengawasan sampai dengan perubahan.
Misalnya, publik mendorong terjadinya transparansi atas kasus Ferdy Sambo dan bagaimana masyarakat mendorong perubahan di internal Kepolisian Republik Indonesia saat ini.
Hoax news yang datang seiring dengan tingginya tingkat informasi perlu disikapi secara serius oleh semua pihak. Peran aktif perlu dilakukan seluruh pihak dan diimbangi kesadaran bahwa peredaran hoax news menjadi momok nilai kebangsaan.
Oleh karena itu, semua pihak, yakni pemerintah, masyarakat dan perusahaan yang menyediakan layanan informasi perlu mengambil peranan secara aktif untuk menyikapi permasalahan ini.
Penelitian yang dilakukan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) yang didukung Centre for International Private Enterprise (CIPE), lembaga nirlaba asal Amerika Serikat menyebutkan bahwa tingginya berita bohong di media merupakan andil dari pihak bisnis yang menarik keuntungan dari adanya hoax news tersebut.
Pihak korporasi penyedia layanan informasi seperti perusahaan media ataupun media sosial memanfaatkan berita bohong sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan.
Melalui model bisnis saat ini, perusahaan media mendapatkan keuntungan dari iklan ketika setiap halaman dibuka oleh pembaca. Artinya keuntungan yang didapat bergantung pada frekuensi pembaca mengunjungi platform media tersebut.
Permasalahan etika tersebut pada akhirnya menyebabkan kualitas penyajian informasi tidak menjadi diperhatikan oleh pihak bisnis.
Padahal melirik sejarah bisnis, saat ini kita memasuki era relationship atau periode hubungan. Hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder, baik konsumen dan masyarakat tidak dilihat sebagai hubungan satu arah.
Artinya pada periode hubungan saat ini, masyarakat tidak hanya bisa dilihat sebagai konsumen produk atau jasa yang korporasi hasilkan.
Pada periode ini, timbul pola kebutuhan yang lebih tinggi karena pada akhirnya bisnis merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.
Pemikiran seperti ini menjadi dasarstakeholder theory yang menjelaskan hubungan antara bisnis dengan semua pihak.
Pada praktiknya, perusahaan penyedia layanan informasi seperti perusahaan media atau media sosial dapat mengambil peran lebih aktif untuk menekan berita bohong saat ini.
Hal pertama yang tentu perlu dimulai adalah dengan mengubah pola dan cara pandang bisnis untuk tidak memikirkan keuntungan jangka pendek saja.
Banyak pelajaran kasus yang dapat kita lihat bagaimana ketika perusahaan mengambil jalan pintas untuk meraih profitabilitas dengan mengorbankan aspek etika dan hubungan dengan masyarakat.
Padahal pola hubungan yang dibangun dengan stakeholder juga akan memberikan banyak dampak positif bagi sustainability perusahaan.
Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat dapat berperan aktif, misalnya, dengan melakukan boikot kepada perusahaan yang memang melanggar etika.
Dengan tekanan tersebut kita dapat meminta pertanggungjawaban perusahaan penyedia layanan informasi untuk lebih aktif dalam menekan hoax news yang beredar.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.