JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana dipanggil oleh Komisi III DPR untuk menghadiri rapat dengar pendapat terkait heboh transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dalam rapat tersebut, Ivan diberi kesempatan untuk memaparkan hal-hal yang ingin dia sampaikan di hadapan para anggota dan pimpinan Komisi III DPR.
Ivan mengawali pemaparannya pada pukul 15.28 WIB. Dirinya terlihat membacakan poin-poin paparannya dengan terburu-buru.
Delapan menit kemudian, Ivan menyatakan dirinya telah selesai memberi pemaparan kepada Komisi III DPR.
Melihat cepatnya paparan yang disampaikan oleh Ivan, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni selaku pimpinan rapat terkejut.
Sebab, pemaparan yang PPATK berikan kepada mereka terkait transaksi yang membuat Indonesia heboh itu tidak sampai 10 menit.
Dalam pemaparannya, Ivan membeberkan catatan-catatan milik PPATK dalam rentang 2002-2022.
Dia menyebutkan, PPATK telah menerima 268 juta laporan dari pihak pelapor.
"Dengan rincian 227,9 juta laporan transaksi transfer dana dari dan keluar negeri, 39,2 juta laporan transaksi keuangan tunai, 742 ribu laporan transaksi keuangan mencurigakan, 445 ribu laporan transaksi penyedia barang dan jasa, dan 4.599 laporan penundaan transaksi," ujar Ivan, Selasa (21/3/2023).
"Kami juga telah menerima 1.250 pengaduan masyarakat yang efektif sebagai data tambahan dan pemicu dalam proses analisis dan pemeriksaan pencucian uang," sambungnya.
Tidak lama kemudian, pemaparan yang Ivan berikan berakhir. Sahroni pun terkejut.
Baca juga: Apakah Jokowi Dapat Laporan soal Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu? Ini Kata PPATK
Pasalnya, dampak akibat transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kemenkeu saja membuat Indonesia hampir hancur. Sementara, Ivan tidak butuh waktu sampai 10 menit untuk merespons kejadian tersebut.
"Wah ini mantap juga nih, enggak sampai 10 menit susah selesai. Tapi (karena) Rp 349 triliun republik ini hampir pecah," kata Sahroni.
Namun, Sahroni menyebut hal tersebut tidak masalah.
Dirinya melihat apa yang PPATK lakukan ini merupakan tanda keterbukaan sistem meski terkait aspek masalah keuangan.