Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/03/2023, 10:26 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana dipanggil oleh Komisi III DPR untuk menghadiri rapat dengar pendapat terkait heboh transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Dalam rapat tersebut, Ivan diberi kesempatan untuk memaparkan hal-hal yang ingin dia sampaikan di hadapan para anggota dan pimpinan Komisi III DPR.

Ivan mengawali pemaparannya pada pukul 15.28 WIB. Dirinya terlihat membacakan poin-poin paparannya dengan terburu-buru.

Delapan menit kemudian, Ivan menyatakan dirinya telah selesai memberi pemaparan kepada Komisi III DPR.

Melihat cepatnya paparan yang disampaikan oleh Ivan, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni selaku pimpinan rapat terkejut.

Sebab, pemaparan yang PPATK berikan kepada mereka terkait transaksi yang membuat Indonesia heboh itu tidak sampai 10 menit.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (19/1/2023).KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Paparan 8 menit

Dalam pemaparannya, Ivan membeberkan catatan-catatan milik PPATK dalam rentang 2002-2022.

Dia menyebutkan, PPATK telah menerima 268 juta laporan dari pihak pelapor.

"Dengan rincian 227,9 juta laporan transaksi transfer dana dari dan keluar negeri, 39,2 juta laporan transaksi keuangan tunai, 742 ribu laporan transaksi keuangan mencurigakan, 445 ribu laporan transaksi penyedia barang dan jasa, dan 4.599 laporan penundaan transaksi," ujar Ivan, Selasa (21/3/2023).

"Kami juga telah menerima 1.250 pengaduan masyarakat yang efektif sebagai data tambahan dan pemicu dalam proses analisis dan pemeriksaan pencucian uang," sambungnya.

Tidak lama kemudian, pemaparan yang Ivan berikan berakhir. Sahroni pun terkejut.

Baca juga: Apakah Jokowi Dapat Laporan soal Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu? Ini Kata PPATK

Pasalnya, dampak akibat transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kemenkeu saja membuat Indonesia hampir hancur. Sementara, Ivan tidak butuh waktu sampai 10 menit untuk merespons kejadian tersebut.

"Wah ini mantap juga nih, enggak sampai 10 menit susah selesai. Tapi (karena) Rp 349 triliun republik ini hampir pecah," kata Sahroni.

Namun, Sahroni menyebut hal tersebut tidak masalah.

Dirinya melihat apa yang PPATK lakukan ini merupakan tanda keterbukaan sistem meski terkait aspek masalah keuangan.

"Memang harus dibiasain terbuka, Pak. Keterbukaan informasi," ucapnya.

Baca juga: PPATK: Transaksi Rp 349 Triliun Itu Pencucian Uang, tapi Tak Semuanya di Kemenkeu

Hanya saja, Sahroni berharap kisruh soal transaksi Rp 349 triliun ini bisa diselesaikan.

Apabila dugaan kejahatan di Kemenkeu itu tidak benar, Sahroni meminta kepada PPATK untuk menyampaikan fakta itu kepada publik.

"Kalau memang yang disampaikan PPATK ke Pak Menko (Mahfud) terkait dengan nilai asumsi transaksi sampai Rp 349 triliun itu akhirnya tidak terbukti TPPU, mestinya juga disampaikan ke publik dengan seterang benderang. Supaya republik ini tidak gaduh dengan apa yang menjadi informasi belum tentu benar," jelas Sahroni.

PPATK akui Rp 349 T di Kemenkeu TPPU, tapi...

Ivan menegaskan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang sedang ramai saat ini merupakan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Ivan menyebut, apabila angka itu bukan merupakan TPPU, pasti dia tidak akan melaporkannya.

"PPATK yang diekspos itu TPPU atau bukan? Yang Rp 300 (triliun) itu TPPU?" tanya Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond.

"TPPU, pencucian uang. Itu hasil analisis dan hasil pemeriksaan, tentunya TPPU. Jika tidak ada TPPU, tidak akan kami sampaikan," jawab Ivan secara tegas.

Baca juga: Pimpinan Komisi III: PPATK Selalu Beri Info Bagus, tapi Penegak Hukumnya Enggak Serius

Mendengar jawaban Ivan, Desmond menanyakan apakah itu artinya transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kemenkeu merupakan kejahatan yang dilakukan kementerian tersebut atau bukan.

Ivan mengatakan itu bukan berarti Kemenkeu melakukan kejahatan sebesar Rp 300 triliun.

"Jadi ada kejahatan di Departemen Keuangan, gitu?" tanya Desmond.

"Bukan. Dalam posisi Departemen Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal sesuai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8/2010 disebutkan di situ penyidik tindak pidana asal adalah penyidik TPPU, dan di penjelasannya dikatakan bahwa Bea Cukai dan Direktorat Jenderal adalah penyidik tindak pidana asal," ucap Ivan.

Baca juga: PPATK Temukan Rp 1 Triliun Hasil Kejahatan Mengalir ke Politisi, Pakar: Bahaya Sekali

Ivan memaparkan bahwa nilai Rp 349 triliun yang merupakan transaksi janggal tidak semuanya terjadi di Kemenkeu.

Akan tetapi, ada kasus lain yang berkaitan dengan ekspor-impor hingga perpajakan yang dilaporkan ke Kemenkeu.

Sebab, Kemenkeu memang juga memiliki tugas sebagai penyidik asal untuk menangani tindak pidana.

"Jadi Rp 349.874.187.502.987 ini tidak semuanya bicara tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Kemenkeu, bukan di Kemenkeu. Tapi terkait dengan tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal," papar Ivan.

"Itu kebanyakan terjadi dengan kasus impor, ekspor, kasus perpajakan. Dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa ada lebih dari Rp 100 triliun, lebih dari Rp 40 triliun, itu bisa melibatkan," sambungnya.

Baca juga: Mantan Kepala PPATK Nilai Ada Dua Faktor yang Bikin KPK Belum Usut TPPU Rafael Alun

Maka dari itu, Ivan menekankan tindak pidana pencucian uang lebih dari Rp 300 triliun itu tidak bisa diartikan terjadi di Kemenkeu.

Ivan mengaku ada kesalahan kalimat yang disampaikan kepada masyarakat terkait transaksi mencurigakan Rp 300 triliun ini.

"Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidana itu di Kemenkeu. Jadi kalimat 'di Kemenkeu' itu kalimat yang salah. Itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kemenkeu. Sama kalau kita menyampaikan ke kepolisian," beber Ivan.

Dicurigai ada kepentingan politik

Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Benny K Harman curiga ada motif politik di balik Mahfud yang mengungkap laporan PPATK terkait transaksi janggal Rp 349 triliun di lingkungan Kemenkeu. Benny pun mencecar Ivan.

Benny bertanya kepada Ivan soal adanya permintaan Mahfud terkait laporan transaksi mencurigakan tersebut.

Melihat posisi Mahfud sebagai Ketua Komite Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Ivan selaku sekretaris pun memberikan laporannya.

"Kami sampaikan lis agregatnya dan sampaikan ke beliau sebagai Sekretaris Komite Nasional," kata Ivan.

"Lalu beliau umumkan ke publik, anda tahu?" tanya Benny.

"Saya dengar di media. Saya tahu," jawab Ivan.

Baca juga: PPATK Laporkan Kejanggalan Harta Rafael ke KPK sejak 2011, Abraham Samad Singgung Kewenangan

Lalu, Benny mempertanyakan soal boleh tidaknya Mahfud membuka laporan PPATK tersebut ke publik.

Menurut Ivan, Mahfud boleh menyampaikan data Rp 349 triliun itu ke publik.

Benny lantas mencecar Ivan perihal dasar pasal apa yang membolehkan laporan analisis PPATK itu dibuka ke publik.

Dia bahkan mencurigai adanya kepentingan politik di balik pengungkapan tersebut.

"Kalau anda katakan itu boleh, tunjukkan ke saya pasal berapa dalam UU. Sebab kalau tidak, saudara Menko Polhukam dan Anda juga sebetulnya punya niat politik yang tidak sehat, mau memojokkan Kemenkeu atau sejumlah tokoh di Kemenkeu. Itu yang saudara lakukan. Coba tunjukkan ke saya," cecar Benny.

"Yang jadi referensi kami adalah Perpres 6/2012," kata Ivan.

"Pasal?" tanya Benny.

"Ini turunan dari Pasal 92 Ayat 2," ucap Ivan.

Pada akhirnya, Ivan menepis kalau ada motif politik di balik pengungkapan transaksi janggal di Kemenkeu ini.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Eks Hakim Kritik DPR karena Ancam MK Jelang Putusan Sistem Pemilu

Eks Hakim Kritik DPR karena Ancam MK Jelang Putusan Sistem Pemilu

Nasional
Sakit, 2 Jemaah Haji Kloter Pertama Tidak Diberangkatkan ke Makkah

Sakit, 2 Jemaah Haji Kloter Pertama Tidak Diberangkatkan ke Makkah

Nasional
PDI-P: 1.375 Organisasi Daftar Jadi Relawan Ganjar

PDI-P: 1.375 Organisasi Daftar Jadi Relawan Ganjar

Nasional
Banyak Korban Perdagangan Orang Meninggal Saat Jadi TKI, Migrant Care Ungkap Penyebabnya

Banyak Korban Perdagangan Orang Meninggal Saat Jadi TKI, Migrant Care Ungkap Penyebabnya

Nasional
KPU Yakin Putusan MK soal Sistem Pemilu Tak Ganggu Tahapan Berjalan

KPU Yakin Putusan MK soal Sistem Pemilu Tak Ganggu Tahapan Berjalan

Nasional
1.897 Jemaah Haji Bergeser dari Madinah ke Makkah

1.897 Jemaah Haji Bergeser dari Madinah ke Makkah

Nasional
Eks Hakim: MK Harus Punya Alasan Mendasar jika Ubah Sistem Pemilu

Eks Hakim: MK Harus Punya Alasan Mendasar jika Ubah Sistem Pemilu

Nasional
Relawan Buruh Sahabat Jokowi Pimpinan Andi Gani Akan Berubah Jadi Relawan Ganjar

Relawan Buruh Sahabat Jokowi Pimpinan Andi Gani Akan Berubah Jadi Relawan Ganjar

Nasional
KRI Bung Karno-369 Jadi Kapal Korvet Pertama Pabrikan Lokal

KRI Bung Karno-369 Jadi Kapal Korvet Pertama Pabrikan Lokal

Nasional
Cerita Ganjar soal Ponselnya yang Eror Setelah Ia Diumumkan sebagai Capres PDI-P

Cerita Ganjar soal Ponselnya yang Eror Setelah Ia Diumumkan sebagai Capres PDI-P

Nasional
Argumen KPK Tolak Diperiksa Ombudsman Dinilai Keliru

Argumen KPK Tolak Diperiksa Ombudsman Dinilai Keliru

Nasional
Kemenaker dan Stakeholders Deklarasikan Komitmen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Kemenaker dan Stakeholders Deklarasikan Komitmen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Nasional
Sebulan Tak Bisa Akses Data Pencalegan, Bawaslu Siap Laporkan KPU ke DKPP

Sebulan Tak Bisa Akses Data Pencalegan, Bawaslu Siap Laporkan KPU ke DKPP

Nasional
Ganjar Cerita soal Disabilitas dari Pangandaran yang Datang ke Rumahnya di Semarang dengan Sepeda Motor

Ganjar Cerita soal Disabilitas dari Pangandaran yang Datang ke Rumahnya di Semarang dengan Sepeda Motor

Nasional
Megawati Ingin Indonesia Perbanyak Alutsista Maritim Pabrikan Lokal

Megawati Ingin Indonesia Perbanyak Alutsista Maritim Pabrikan Lokal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com