Pertama, soal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang revisinya baru disahkan awal Desember 2022.
AHY menilai, ada potensi pasal karet dalam UU tersebut, khususnya terkait aturan penghinaan presiden, serta pasal tentang demonstrasi dan unjuk rasa.
“Jangan sampai pasal-pasal kontroversial itu digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menggebuk lawan-lawan politik, membungkam suara kritis masyarakat, bahkan mengkriminalisasi rakyatnya sendiri,” tutur AHY di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Kedua, terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022. Perppu itu diterbitkan pemerintah guna merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja (Ciptaker) betentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
AHY bilang, sejak awal partainya menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Tak heran jika pada akhirnya MK menyatakan aturan tersebut inkonstitusional bersyarat.
Baca juga: Putusan PN Jakpus Pemilu 2024 Ditunda, SBY: Ada yang Aneh di Negeri Ini
Namun demikian, sekalipun MK menyatakan UU itu bertentangan dengan konstitusi, respons pemerintah justru menerbitkan perppu.
Seharusnya, kata AHY, pemerintah memperbaiki UU tersebut dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat.
“Perppu seharusnya hanya digunakan untuk keadaan genting, dan memaksa. Padahal, tidak ada situasi yang sangat memaksa agar revisi peraturan ini cepat terbit,” katanya.
Dalam pidato terbarunya di hadapan para kader Demokrat, AHY lagi-lagi menyinggung soal tata kelola pemerintahan saat ini yang menurutnya tidak berjalan baik. AHY berkata, banyak program pemerintah yang terkesan terburu-buru.
"Kita mencermati, tata kelola pemerintahan saat ini tidak berjalan dengan baik. Banyak program pemerintah yang dilakukan grusa grusu, terburu-buru dan kurang perhitungan," katanya di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Baca juga: Jokowi: Pajak Dikumpulkan dengan Sulit, tapi Kita Belikan Produk Luar Negeri
AHY menyinggung alokasi anggaran bernilai triliunan rupiah yang digunakan pemerintah untuk pengembangan kawasan pangan berskala luas. Mantan perwira militer itu menyoroti program food estate atau lumbung pangan yang tengah digalakkan Jokowi di berbagai daerah.
Menurutnya, banyak akademisi pertanian dan aktivis lingkungan yang mengkritik kebijakan ini. Program food estate dinilai hanya mengandalkan ekstensifikasi lahan saja, tetapi mengabaikan faktor ekologi dan sosial.
Padahal, kata AHY, kedaulatan pangan harusnya berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan masyarakat, serta mengindahkan aspek keseimbangan lingkungan, keberlanjutan, dan tradisi masyarakat lokal.
"Ini mengacu kepada mazhab ekonomi Demokrat, yakni sustainable growth with equity, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan, yang tetap menjaga keseimbangan alam," ujar AHY.
Dalam kesempatan yang sama, AHY menyinggung soal utang pemerintah yang menurutnya naik tiga kali lipat dalam delapan tahun terakhir di era pemerintahan Jokowi.