Janedri memaparkan, masyarakat Indonesia memiliki banyak preferensi politik, di mana salah satunya adalah agama.
Jika seseorang beragama Islam, maka biasanya orang itu memilih identitas politiknya sebagai Islam.
Hal serupa bisa terjadi apabila orang itu memiliki agama atau suku yang berbeda dalam menetapkan preferensi politik masing-masing.
Baca juga: PDI-P: Partai Ummat Tak Paham Pembentukan Bangsa karena Usung Politik Identitas
"Jadi identitas politik itu beda dengan politik identitas. Preferensi politik menjadi hak individu masyarakat. Preferensi politik masyarakat berdasarkan identitas apakah itu agama, suku, bahasa, daerah, itu menjadi hak individu bapak/ibu semua," tutur Janedri.
Kemudian, Janedri mewanti-wanti apabila preferensi politik dijadikan komoditas politik dengan menggunakan black campaign dan negative campaign.
Janedri kembali menegaskan hal-hal seperti itulah yang perlu dihindari bersama-sama.
Menurut dia, politik identitas itu berbahaya bagi persatuan dan kesatuan Indonesia.
"Sekalian saya menjawab tentang politik identitas. Ini bahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa," katanya.
Baca juga: Anies: 5 Tahun Tugas di Jakarta, Ada Bukti Saya Pakai Politik Identitas?
Sementara itu, kata Janedri, politisasi agama juga perlu diwaspadai seperti politik identitas.
Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah politik identitas dan politisasi agama dilarang di Indonesia, Janedri mengakui kalau belum ada aturan yang jelas mengenai itu.
"Sama-sama tidak ada pengaturannya secara jelas, tegas di dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada. Tapi terkait money politics, black, dan negative campaign ada aturannya. Itu juga harus kita hindari," papar Janedri.
Maka dari itu, Janedri meminta kepada semua pihak untuk tidak mempolitisasi agama untuk memperoleh dukungan dalam kontestasi pemilu.
Mengingat, dalam waktu dekat Pemilu 2024 akan dilaksanakan.
"Jangan agama dipolitisasi untuk mengapitalisasi perolehan dukungan suara dalam pemilu dan pilkada, apalagi dengan menggunakan cara-cara negative campaign, black campaign, rusak negara ini bapak/ibu," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.