Kala itu, Megawati dipandang sebelah mata lantaran merupakan pendatang baru di politik. Namun, siapa sangka, namanya melejit menjadi primadona dalam kampanye PDI.
Baca juga: Sinyal Penolakan PDI-P soal Pertemuan Megawati dan Surya Paloh...
Megawati berhasil mendongkrak elektabilitas partai. Pada Pemilu 1987 PDI mampu merebut 40 kursi DPR, dari yang sebelumnya hanya 24 kursi pada Pemilu 1982.
Sebelumnya, PDI selalu menjadi partai buntut pada setiap pemilu dengan perolehan suara tak lebih besar dari Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Popularitas Megawati juga berhasil mengantarkannya ke kursi Parlemen sebagai anggota DPR/MPR.
Berkat kontribusinya itu, partai mengganjar Mega dengan jabatan Ketua PDI cabang Jakarta Pusat.
Karier politik Megawati pun terus melesat. Situasi ini membuat Soerjadi, Ketua Umum PDI saat itu, merasa terancam dan ketar-ketir.
Tahun 1993, Soerjadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Namun, jalan Soerjadi untuk kembali duduk di tahta tertinggi partai tersendat lantaran dia diterpa isu penculikan kader.
Atas dugaan itulah, PDI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.
Kekhawatiran Soerjadi pun menjadi nyata. Dari KLB tersebut, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI, merebut kursi pimpinan tertinggi partai dari Soerjadi.
Terpilihnya Megawati itu dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) yang digelar pada 22 Desember 1993 di Jakarta. Megawati resmi menjabat Ketua Umum PDI periode 1993-1998.
Namun, baru 3 tahun berjalan, PDI menggelar Kongres di Medan. Lewat kongres yang digelar 22 Juni 1996 itu, Soerjadi dinyatakan sebagai ketua umum PDI masa jabatan 1996-1998.
Dari situlah, lahir dualisme kepemimpinan, menghadapkan Megawati dengan Soerjadi.
Sementara, pemerintah melalui Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid, mengakui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI hasil Kongres Medan pimpinan Soerjadi.
Walhasil, Munas Jakarta tak dianggap. Kepemimpinan Megawati tidak diakui.
Atas dinamika ini, tensi politik seketika meninggi. Dukungan untuk Megawati mengalir, utamanya dari aktivis dan mahasiswa yang menentang rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.