Dalam asas melindungi ini, negara menjadikan hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis sebagaimana konstelasi awal negara ini dibangun, yakni menempatkannya sejajar dengan hukum tertulis, bukan subordinatnya.
Munculnya paham rekognisi yang cenderung formalis ketimbang organis telah menempatkan masyarakat adat dalam koridor “legalitas”. Perspektif yang dibangun adalah negara, yang notabene muncul jauh setelah masyarakat adat ada dan menetap di Nusantara, tiba-tiba datang mengatur dan melakukan filterisasi melalui regulasi atas eksistensi mereka.
Pemahaman yang demikian jauh dari cita negara (staatside) sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945, yakni “...membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..”.
Asas perlindungan terhadap masyarakat adat sebenarnya sudah muncul di dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun ketentuan ini terkesan hanya gimmick semata tanpa ada hulu dan hilirisasi yang jelas mau dikemanakan aktualisasi ketentuan ini.
Meminjam peristilahan dari Lawrence M. Friedman (1975), aturan ini seperti macan ompong, garang tapi tidak mengigit.
Buktinya, lebih dari 23 tahun UU HAM diberlakukan, keberadaan masyarakat adat masih saja rentan dan cenderung dikriminalisasi.
Negara terlalu banyak mengatur masyarakat adat pada berbagai sektor hingga sesak karena hingga saat ini masyarakat adat belumlah bernafas lega.
Berbagai bentuk aturan malah cenderung mendelegitimasi eksistensinya yang organis kemudian dipaksa untuk “dilegalkan” melalui standar rekognisi masing-masing regulasi sektoral.
Terbaru, intervensi negara muncul dalam Pasal 2 UU No. 1/2023 tentang KUHP yang mendorong pembentukan peraturan daerah yang mengatur sampai pada tahap “Tindak Pidana Adat” sehingga ketentuan ini selain bias juga cenderung menegasikan pranata adat.
UU No. 2/2022 tentang Cipta Kerja juga menempatkan posisi masyarakat adat tidak lebih baik karena sangat prosedural dan formalis, terutama pada pengakuan yang harus di-legal-kan melalui peraturan perundang-undangan.
Keberadaan regulasi di sisi lain menghambat proses legitimasi terhadap masyarakat adat secara utuh, sehingga perlindungan terhadap masyarakat adat menjadi tersedat.
Di sini, pemaknaan rekognisi lagi-lagi selalu dimaknai “mengatur” dan “melegalkan” keberadaan masyarakat adat, seakan-akan masyarakat adat membutuhkan legitimasi dari negara, bukan negara yang membutuhkan legitimasi dari masyarakat adat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.