MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di bawah kepemimpinan hakim Wahyu Imam Santoso, menerobos benteng undang-undang dalam menjatuhkan vonis terhadap dua terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Putri Candrawathi hukuman delapan tahun penjara. Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis 20 tahun penjara.
Sementara Ferdy Sambo sebagai pelaku utama divonis hukuman mati, melampaui tuntutan jaksa hukuman penjara seumur hidup.
Inilah yang diinginkan publik agar hakim tidak terjebak pada tuntutan jaksa, yang menurut pandangan publik terlalu positivistik (mengikuti UU semata), tidak memperhatikan rasa keadilan dan kemanfaatan hukum.
Sikap progresif terhadap penemuan hukum yang dilakukan, tergambar dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Institusi Pengadilan telah menjadi aktor benteng terakhir pemutus keadilan, yang didasarkan pada kehendak hukum berkeadilan.
Putusan ultra petita sejatinya dimaksud untuk memberikan kebebasan, dengan alasan hakim tidak boleh didikte oleh siapapun termasuk norma UU.
Sikap demikian dipilih oleh majelis hakim yang mengadili kasus ini. Prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman telah ditunjukan, sehingga hal ini menjadi momentum pembaharuan hukum nasional.
Sekiranya Mahkamah Agung dapat menjadikan putusan ini sebagai contoh bagi hakim-hakim yang lainnya, saat akan mengadili kasus yang sama.
Sangat pantas jika Mahkamah Agung mendorong putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang mengadili kasus pembunuhan Brigadir Joshua menjadi putusan dengan kategori land mark decision.
Putusan land mark decision bermakna sebagai putusan monumental, karena meninggalkan kesan yang agung.
Dengan demikian, maka hakim-hakim selanjutnya ketika diperhadapkan dengan kasus sedemikian rupa, akan dengan mudah membaca putusan tersebut.
Tidak hanya itu, vonis ini akan menjadi suatu tanda bahwa Indonesia sebagai satu Negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum. Sekalipun Jenderal saat tersangkut kasus hukum, maka harus ditindak.
Tidak menutup kemungkinan usaha melakukan banding di Pengadilan Tinggi hingga Kasasi maupun upaya hukum luar biasa (PK) akan dilakukan.