Penodaan karakter terjadi ketika sesuatu yang tidak benar dan merusak disajikan sebagai konten untuk diketahui orang lain.
Samber menggaris bawahi bahwa jika pernyataan hanya ditujukan kepada orang yang dimaksud saja (tanpa untuk diketahui umum), maka bukanlah pencemaran, karena tidak merusak karakter orang tersebut di mata orang lain.
Samber dalam hal ini menunjukan bahwa tidak sembarang ujaran dapat dikualifikasikan sebagai defamation.
Samber juga membedakan antara defamation dan opini. Untuk itulah mengapa media massa sangat berhati-hati menggunakan kata “diduga”, ketika berbicara tentang orang yang dituduh melakukan kejahatan.
Dengan cara ini mereka hanya melaporkan tuduhan orang lain tanpa menyatakan pendapat mereka sendiri.
Hal yang juga penting, Samber membedakan defamation dalam bentuk Slander dan libel. Libel adalah pernyataan yang dibuat secara tertulis. Sedangkan slander adalah pernyataan yang diucapkan secara lisan. Konten digital oleh Samber digolongkan sama dengan tertulis.
Pasal-pasal tentang pencemaran nama baik yang sebelumnya diatur dalam UU ITE termasuk yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU KUHP.
Penggantian norma yang selama ini banyak dikritisi berbagai pihak, dan kerap menjadi polemik itu adalah angin segar untuk dunia hukum kita.
Hal ini menunjukan langkah konstruktif dan sikap responsif Pemerintah dan Parlemen terhadap aspirasi publik.
Dari sisi pandang Cyberlaw, sebagai cabang ilmu hukum kontemporer-multidisplin, bahwa UU KUHP bukan sekadar mengkodifikasi norma Cybercrime UU ITE menjadi bagian KUHP, tetapi lebih jauh merekonstruksi dan mereformulasi materi muatan UU ITE agar sejalan dengan prinsip-prinsip hukum umum dan transformasi digital saat ini.
Pasal-pasal UU ITE terkait dengan pencemaran nama baik yang dinyatakan tidak berlaku, meliputi pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3).
Pasal 27 ayat (3) berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan pasal 45 ayat (3) berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal-pasal ini, kemudian direkonstruksi dan direformulasi menjadi bagian Bab Tindak Pidana Penghinaan UU KUHP yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Pasal 433 ayat (1) UU KUHP menyatakan: Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Rumusan pasal ini membuat penafsiran tindak pidana pencemaran nama baik lebih jelas, tidak dan disertai ancaman pidana yang lebih proporsional.
Pasal ini juga akan melindungi orang yang sebenarnya tidak bermaksud kontennya diketahui umum, misalnya ujaran dan postingan hanya dilakukan melalui japri (direct message), tetapi kemudian tersebar karena ada pihak lain yang melakukannya.
Kedua, Pasal 433 ayat (2) menyatakan: Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
Ketiga, Pasal 433 ayat (3) UU KUHP juga mengatur bahwa: Perbuatan sebagaimana dimaksud pada pasal 433 ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.