Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Pasal-pasal "Cyber Crime" UU ITE Dicabut oleh UU KUHP Baru

Kompas.com - 13/02/2023, 06:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH sekian lama Indonesia menjadikan KUHP (lama) yang bersumber dari produk hukum kolonial Wetboek van Strafrecht (WvS) sebagai hukum pidana nasional kodifikatif, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) yang telah disahkan menggantikan KUHP lama ini, merupakan sejarah baru Hukum Indonesia.

Hal yang juga menarik adalah, UU KUHP mencakup pula materi muatan tentang Cyberlaw khususnya tentang Cybercrime.

Peristiwa ini mengharuskan semua ahli, hukum, praktisi dan penegak hukum “belajar ulang” jika tak ingin tertinggal.

Tulisan ini adalah bahan ajar mata kuliah Cyberlaw di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan berbagai kampus lain yang saya bagikan kepada pembaca Kompas.com.

Dalam riset normatif singkat ini, materi difokuskan terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik secara virtual.

Pasal UU ITE yang dicabut

Cukup banyak pasal Cybercrime UU ITE yang dicabut oleh UU KUHP, yaitu: Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 36, Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (3), Pasal 45A ayat (2), Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 ayat (2).

Pasal-pasal ini secara variatif-normatif direkonstruksi, direformulasi, dan dikodifikasi ke dalam UU KUHP.

UU KUHP telah diundangkan pada 2 Januari 2023 dan akan mulai berlaku efektif setelah masa transisi 3 tahun, terhitung sejak tanggal diundangkan.

Salah satu ketentuan UU ITE yang dicabut adalah norma terkait pencemaran nama baik.

Fenomena pencemaran nama baik di media sosial dan platform digital, saat ini memang menjadi salah satu isu hukum dan sosial yang terus bergulir, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara.

Hal ini tidak terlepas dari kekuatan dan efektivitas platform digital sebagai super apss global berbasis safe harbour policy.

Model regulasi safe harbour, dan kecanggihan platform digital telah memosisikan setiap orang seolah memiliki media massa sendiri. Berbagai konten bisa tayang tanpa seleksi editorial. Kondisi inilah yang mendorong penyebarluasan konten apapun secara virtual.

Defamation, slander dan libel

Dampak media sosial yang demikian masif, selain positif untuk kreativitas konten dan ekonomi digital, juga memiliki sisi negatif, yaitu maraknya ujaran kebencian, fake news, hoax. Ekses ini terjadi di berbagai belahan dunia.

Brete Samber JD seorang pakar dan praktisi hukum di New York dalam artikelnya berjudul "Differences between defamation, slander and libel" mengatakan Defamation, slander dan libel adalah istilah yang sering dirancukan satu sama lain.

Semua itu termasuk kedalam kategori hukum yang berkaitan dengan komunikasi yang salah dan merendahkan karakter seseorang.

Menurut Samber, defamation adalah pernyataan palsu yang disajikan sebagai fakta yang menyebabkan cedera atau rusaknya karakter seseorang.

Orang yang reputasinya dirusak oleh pernyataan palsu, dapat mengajukan gugatan pencemaran nama baik.

Senada dengan Samber, Legal Information Institute, Cornell Law School dalam rilisnya berjudul "Defamation" (2022), menyatakan bahwa defamation adalah bidang hukum yang rumit, karena batas antara menyatakan pendapat versus fakta bisa jadi tidak jelas.

Defamation juga menguji batas-batas kebebasan berbicara dan kebebasan pers.

Penodaan karakter terjadi ketika sesuatu yang tidak benar dan merusak disajikan sebagai konten untuk diketahui orang lain.

Samber menggaris bawahi bahwa jika pernyataan hanya ditujukan kepada orang yang dimaksud saja (tanpa untuk diketahui umum), maka bukanlah pencemaran, karena tidak merusak karakter orang tersebut di mata orang lain.

Samber dalam hal ini menunjukan bahwa tidak sembarang ujaran dapat dikualifikasikan sebagai defamation.

Samber juga membedakan antara defamation dan opini. Untuk itulah mengapa media massa sangat berhati-hati menggunakan kata “diduga”, ketika berbicara tentang orang yang dituduh melakukan kejahatan.

Dengan cara ini mereka hanya melaporkan tuduhan orang lain tanpa menyatakan pendapat mereka sendiri.

Hal yang juga penting, Samber membedakan defamation dalam bentuk Slander dan libel. Libel adalah pernyataan yang dibuat secara tertulis. Sedangkan slander adalah pernyataan yang diucapkan secara lisan. Konten digital oleh Samber digolongkan sama dengan tertulis.

Pencemaran nama baik

Pasal-pasal tentang pencemaran nama baik yang sebelumnya diatur dalam UU ITE termasuk yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU KUHP.

Penggantian norma yang selama ini banyak dikritisi berbagai pihak, dan kerap menjadi polemik itu adalah angin segar untuk dunia hukum kita.

Hal ini menunjukan langkah konstruktif dan sikap responsif Pemerintah dan Parlemen terhadap aspirasi publik.

Dari sisi pandang Cyberlaw, sebagai cabang ilmu hukum kontemporer-multidisplin, bahwa UU KUHP bukan sekadar mengkodifikasi norma Cybercrime UU ITE menjadi bagian KUHP, tetapi lebih jauh merekonstruksi dan mereformulasi materi muatan UU ITE agar sejalan dengan prinsip-prinsip hukum umum dan transformasi digital saat ini.

Pasal-pasal UU ITE terkait dengan pencemaran nama baik yang dinyatakan tidak berlaku, meliputi pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3).

Pasal 27 ayat (3) berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan pasal 45 ayat (3) berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal-pasal ini, kemudian direkonstruksi dan direformulasi menjadi bagian Bab Tindak Pidana Penghinaan UU KUHP yang mengatur hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Pasal 433 ayat (1) UU KUHP menyatakan: Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Rumusan pasal ini membuat penafsiran tindak pidana pencemaran nama baik lebih jelas, tidak dan disertai ancaman pidana yang lebih proporsional.

Pasal ini juga akan melindungi orang yang sebenarnya tidak bermaksud kontennya diketahui umum, misalnya ujaran dan postingan hanya dilakukan melalui japri (direct message), tetapi kemudian tersebar karena ada pihak lain yang melakukannya.

Kedua, Pasal 433 ayat (2) menyatakan: Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.

Ketiga, Pasal 433 ayat (3) UU KUHP juga mengatur bahwa: Perbuatan sebagaimana dimaksud pada pasal 433 ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

Pasal-pasal di atas selain membedakan bentuk slander dan libel juga mencantumkan kriteria “kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri” sebagai alasan tidak dipidana.

Hal ini menjadi variabel penting yang sebelumnya tidak dikenal dalam pasal pencemaran nama baik UU ITE.

Keempat, UU KUHP pada pasal 441 ayat (1) mengatur tentang pemberatan tindak pidana pencemaran melalui sarana teknologi informasi seperti platform digital: Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 sampai dengan Pasal 439 dapat ditambah 1/3 (satu per tiga) jika dilakukan dengan sarana teknologi informasi.

Pasal ini juga memiliki keterkaitan dengan "ruang siber (Cyber space)", dan terminologi "di muka umum".

UU KUHP pada pasal 158 mengatakan: Di muka umum adalah suatu tempat atau ruang yang dapat dilihat, didatangi, diketahui atau disaksikan oleh orang lain, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media elektronik yang membuat publik dapat mengakses informasi elektronik atau dokumen elektronik.

Kelima, hal yang juga penting adalah materi muatan pada pasal 434 jo. Pasal 435 UU KUHP yang membedakan delik pencemaran nama baik dan fitnah.

Jika ada seseorang yang melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, dan yang bersangkutan diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan, tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, maka pelaku dipidana karena fitnah. Pidana penjaranya paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Dapat disimpulkan, jika terbukti bahwa tindakan itu sebagai fitnah, maka ancaman pidananya lebih tinggi dari sekadar pencemaran nama baik, yaitu 4 tahun.

Pasal-pasal ini harus diperhatikan betul oleh setiap orang, agar jangan asal sembarang main tuduh yang bisa terjerat delik pidana fitnah.

Putusan MK

Seperti diketahui, bahwa pasal pencemaran nama baik UU ITE pernah diuji materiil dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 50/PUU-VI/2008.

Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan,"…penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP."

Mahkamah juga prinsipnya berpendapat bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht delict).

Pencabutan pasal pencemaran UU ITE dan reformulasi pasal pencemaran nama baik termasuk secara virtual dalam UU KUHP, pada prinsipnya sejalan dengan putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 tersebut.

Fakta dan kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian khusus dalam pembahasan Perubahan UU ITE di Parlemen.

Pada prinsipnya ketentuan Cybercrime dalam UU ITE yang telah diadopsi-kodifikatif ditetapkan dan disahkan sebagai bagian UU KUHP tidak perlu dibahas lagi.

Pembahasan bisa lebih difokuskan di luar hal tersebut sejalan dengan fakta bahwa dunia sudah memasuki Industry 5.0.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com