Dalam masa yang begini, netralitas wartawan sebagaimana diamanahkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1 yang menyatakan bahwa, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk; dipertanyakan masyarakat begitu tajam.
Dan pada tataran ini pula apa yang pernah dicibirkan Michael Jackson, penyanyi dan penulis lagu dari Amerika Serikat 1958-2009, “pers terkadang mengorbankan akurasi, keadilan, dan bahkan kebenaran," terasa relevan.
Dalam idealismenya, pers –meminjam perkataan Adlai E. Stevenson II-- adalah “ibu dari semua kebebasan kita dan kemajuan kita di bawah kebebasan."
Usaha-usaha idealisme ini pula dalam sejarah pers Indonesia abad ke 19 muncullah Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855), Bianglala (Batavia, 1867), dan Berita Betawie (Batavia, 1874).
Hanya saja usaha kebebasan dan kemajuan itu baru masih di taraf menandingi pers berbahasa Belanda dengan menggunakan bahasa Melayu dan Jawa. Juga masih tidak afdol, karena para redakturnya orang-orang Belanda.
Barulah tahun 1907, terbit Medan Prijaji (Bandung, 1907) yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji ini awak redaksinya diisi oleh pribumi dan diterbitkan oleh pengusaha pribumi pula.
Maka Medan Prijaji menjadi satu tonggak sejarah idealisme pers Indonesia merepersentasikan kebebasan berpendapat secara kolektif dan individu.
Saat pemerintahan kolonialisme Belanda sedang kuat-kuatnya membelenggu, Medan Prijaji sudah mendasari konsepsi pers berpihak pada kedaulatan rakyat dan mencerdaskan bangsa.
Pelajaran sejarah pers kita itu sangat diketahui oleh para insan pers untuk memegang teguh idealisme pers.
Sayangnya, kurun dua dekade pascareformasi menghadapkan pers pada oligarki media. Awal dari kurun ini konsentrasi kepemilikan semakin kuat dan memusat, mendesak pers jadi partisan dan cenderung elitis.
Dengan demikian, hak publik untuk tahu sebagai bagian dari kemerdekaan pers mengalami pergeseran makna.
Hadirnya oligarki dengan sumber daya media tidak hanya mengubah landscape bisnis media, namun juga mengubah landskap orientasi politik media.
Oleh karenanya demokrasi yang pada nilai kodratiknya membuka ruang kebebasan menyampaikan pendapat, cuma hiasan retorika karena pers tidak tumbuh menyertai makna kebebasan tersebut. Maka pers menjadi sebuah rezim dalam sosoknya yang kerdil.
Masa kini adalah masa yang demikian berat tantangannya buat pers ketimbang menghadapi pemeritahan kolonial Belada atapun rezim diktaktor,.
Oligarki media memosisikan pers wajib punya sikap partisan, yang juga secara tidak langsung menjadi corong kepentingan politik pemilik media. Dengan adanya reprentasi ini, wartawan pun sebenarnya juga tersubornasi.