Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zackir L Makmur
Wartawan

Gemar menulis, beberapa bukunya telah terbit. Suka catur dan humor, tertawanya nyaring

Pekerjaan Rumah Dewan Pers pada Tahun Politik

Kompas.com - 18/01/2023, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dr. Ninik Rahayu, SH, MS, terpilih sebagai Ketua Dewan Pers periode 2022-2025. Intelektual dan pemikir dari IKAL Strategic Center (ISC) ini mengisi posisi Ketua Dewan Pers yang kosong sejak Prof Azyumardi Azra meninggal dunia pada 18 September 2022.

Pada tahun politik ini, Dewan Pers dipimpin oleh perempuan. Sejumlah pekerjaan rumah Dewan Pers, antara lain arus deras kepentingan politik yang merambah dunia pers serta oligarki media yang lihai berkelit, menjadi tantangan terberat terhadap konstelasi kemerdekaan pers dan profesionalisme kerja jurnalistik.

Namun Ninik Rahayu bukanlah perempuan lembek. Setelah ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers, ia langsung tancap gas lewat statemennya yang berkobar: “Kemerdekaan pers harus terus menerus kita perkuat, demikian pula dengan kualitas jurnalisme dan profesionalisme perusahaan pers. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan kerja multistakeholder."

Di dalam semiotika statement itu, saya tertegun: ketika kemerdekaan pers harus terus menerus diperkuat, adakah pihak yang selalu melemahkan pers? Lantas, adakah situasi dan kondisi yang menghimpit hingga kualitas jurnalisme demikian merosot?

Pers berselingkuh politik

Dimulai tahun 1998, ketika sebelumnya selama puluhan tahun dibelenggu, pers mendapatkan kemerdekaannya. Pada era reformasi ini lahir UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin tidak adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers.

Bersamaan pula era ini Dewan Pers menjadi lembaga independen. Sebelum era ini, Dewan Pers walau pertama kali terbentuk pada 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, namun eksistensinya banci.

Pada era reformasi pula pers tidak lemah, dan sekaligus punya kebebasan yang begitu gilang gemilang.

Hanya saja kemudian datang ironisme, pers berselingkuh dengan prospektif politik seiring era ini mengizinkan hadirnya partai politik baru yang di antaranya ada sejumlah pemilik modal perusahaan pers pimpinan partai politik baru itu. Bersama ini pers direngkuh oligarki media.

Maka perselingkuhan ini yang membuat pers mengenal orientasi politik redaksi bergantung pada orientasi politik oligarki media.

Dan pers yang disusui oleh oligarki media punya semangat tempur menghajar lawan-lawan politik majikannya –pemilik media yang bercokol di partai politik, atau orang dari partai politik yang memiliki media.

Hal ini sangat kental terlihat pada tahun politik jelang pemilihan umum (Pemilu) 2014 dan Pemilu 2019.

Di dekade ini permasalahan politik muncul ketika oligarki media sekaligus ketua umum partai politik berpihak pada kandidat Capres-Cawapres dalam Pilpres. Dukungan ini memengaruhi kepentingan oligarki media.

Setiap perusahaan pers pasti telah menetapkan aturan dan kebijakan yang harus diikuti demi profesionalisme jurnalistik.

Namun aturan atau kebijakan yang ujung-ujungnya mendorong wartawan mengusung kepentingan politik pemilik perusahaan pers, tentulah hal ini aneh bagi profesionalitas jurnalisme. Namun keanehan ini sudah banyak terjadi, maka tidak lagi aneh.

Itulah era di mana pers yang tidak lemah dan mempunyai kekebabasannya, justru jalannya sepoyongan saking kekuatan energi dan potensinya demi partisan pemilik media dalam membentuk citra positif salah satu kandidat dan menyerang kandidat lain.

Dalam masa yang begini, netralitas wartawan sebagaimana diamanahkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1 yang menyatakan bahwa, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk; dipertanyakan masyarakat begitu tajam.

Dan pada tataran ini pula apa yang pernah dicibirkan Michael Jackson, penyanyi dan penulis lagu dari Amerika Serikat 1958-2009, “pers terkadang mengorbankan akurasi, keadilan, dan bahkan kebenaran," terasa relevan.

Pengaruh oligarki media

Dalam idealismenya, pers –meminjam perkataan Adlai E. Stevenson II-- adalah “ibu dari semua kebebasan kita dan kemajuan kita di bawah kebebasan."

Usaha-usaha idealisme ini pula dalam sejarah pers Indonesia abad ke 19 muncullah Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855), Bianglala (Batavia, 1867), dan Berita Betawie (Batavia, 1874).

Hanya saja usaha kebebasan dan kemajuan itu baru masih di taraf menandingi pers berbahasa Belanda dengan menggunakan bahasa Melayu dan Jawa. Juga masih tidak afdol, karena para redakturnya orang-orang Belanda.

Barulah tahun 1907, terbit Medan Prijaji (Bandung, 1907) yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji ini awak redaksinya diisi oleh pribumi dan diterbitkan oleh pengusaha pribumi pula.

Maka Medan Prijaji menjadi satu tonggak sejarah idealisme pers Indonesia merepersentasikan kebebasan berpendapat secara kolektif dan individu.

Saat pemerintahan kolonialisme Belanda sedang kuat-kuatnya membelenggu, Medan Prijaji sudah mendasari konsepsi pers berpihak pada kedaulatan rakyat dan mencerdaskan bangsa.

Pelajaran sejarah pers kita itu sangat diketahui oleh para insan pers untuk memegang teguh idealisme pers.

Sayangnya, kurun dua dekade pascareformasi menghadapkan pers pada oligarki media. Awal dari kurun ini konsentrasi kepemilikan semakin kuat dan memusat, mendesak pers jadi partisan dan cenderung elitis.

Dengan demikian, hak publik untuk tahu sebagai bagian dari kemerdekaan pers mengalami pergeseran makna.

Hadirnya oligarki dengan sumber daya media tidak hanya mengubah landscape bisnis media, namun juga mengubah landskap orientasi politik media.

Oleh karenanya demokrasi yang pada nilai kodratiknya membuka ruang kebebasan menyampaikan pendapat, cuma hiasan retorika karena pers tidak tumbuh menyertai makna kebebasan tersebut. Maka pers menjadi sebuah rezim dalam sosoknya yang kerdil.

Masa kini adalah masa yang demikian berat tantangannya buat pers ketimbang menghadapi pemeritahan kolonial Belada atapun rezim diktaktor,.

Oligarki media memosisikan pers wajib punya sikap partisan, yang juga secara tidak langsung menjadi corong kepentingan politik pemilik media. Dengan adanya reprentasi ini, wartawan pun sebenarnya juga tersubornasi.

Khalayak yang sebelumnya mendelegasikan aspirasinya pada pers, merasa tidak lagi percaya, semacam ada kecemasan dalam pemberitaan hanya dieksploitasi demi kepentingan politik oligarki media.

Dengan demikian, publik sulit menemukan pers yang penuh percaya diri berpihak pada aspirasi khalayak.

Atas pengaruh kekuatan oligarki media pula bahwa kekuatan pers sebagai pilar demokrasi menjadi goyah. Kemampuan untuk menyampaikan berita yang berimbang karenanya tidak maksimal.

Maka pers tidak bisa diandalkan mengakomodasikan aspirasi publik dengan segala harapannya. Lantaran pers tidak netral, tidak melihat perkara yang sama dalam sudut pandang kepentingan publik. Ada jarak, ada pergeseran komitmen.

Proaktif Dewan Pers

Dengan nilai kodratiknya Dewan Pers sebagai lembaga independen, maka harapan publik berlimpah ruah agar lembaga ini terus memainkan perannya semakin proaktif untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia.

Mengembangkan dan melindungi kehidupan pers tidak sebatas santi aji, karena pekerjaan rumah Dewan Pers begitu bertumpuk menyangkut kemerdekaan pers yang bergeser ke orientasi politik dan profesionalitas jurnalisme yang terkungkung oligarki media untuk dicarikan solusinya.

Oleh karena itu, pergeseran ke orientasi politik, serta persentuhan pers dengan oligarki media, ketika terjadi konflik jurnalistik membuat Dewan Pers tidak sekadar memakai wewenangnya untuk menyelesaikan sengketa, melainkan turut menghidupkan nafas demokrasi.

Dalam demokrasi yang hidup, pers punyai kebebasan menyampaikan informasi sambil memberikan umpan balik atas setiap pertukaran gagasan di tengah masyarakat.

Konflik yang terjadi harus dilihat sebagai bagian pertukaran gagasan secara keras, tapi ini menumbuhkan budaya intelektual untuk meningkatkan kecerdasan bangsa.

Dengan asumsi ini pers yang tidak berselingkuh politik dan lolos dari kungkungan oligarki, walau ia kecil ketika terbentur konflik jurnalistik masih bisa berhaharap ada hakim pelindung yang adil bernama: Dewan Pers.

Pers yang tidak berselingkuh politik dan lolos dari kungkungan oligarki media, biasanya memang “pers kecil” dan menyampaikan informasi begitu tajam.

Sudah seharusnya pers tidak punya keberpihakan politik demi tujuan berbangsa dan bernegara agar publik tidak dibutakan informasi, itu idealnya.

Maka Dewan Pers berkewajiban memberi “penyuluhan” dengan sabar agar pers tidak berpihak pada kepentingan politik dan tidak pula bersikap partisipan. Bakal ada begitu banyak hal dan informasi yang bisa diserap masyarakat sebagai bagian pencerahan.

Dewan Pers di bawah kepemimpinan Dr. Ninik Rahayu, SH, MS bersama para anggota yang menyertainya, mampu berperan lebih signifikan lagi. Pembentukan Dewan Pers dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com