Salin Artikel

Pekerjaan Rumah Dewan Pers pada Tahun Politik

Pada tahun politik ini, Dewan Pers dipimpin oleh perempuan. Sejumlah pekerjaan rumah Dewan Pers, antara lain arus deras kepentingan politik yang merambah dunia pers serta oligarki media yang lihai berkelit, menjadi tantangan terberat terhadap konstelasi kemerdekaan pers dan profesionalisme kerja jurnalistik.

Namun Ninik Rahayu bukanlah perempuan lembek. Setelah ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers, ia langsung tancap gas lewat statemennya yang berkobar: “Kemerdekaan pers harus terus menerus kita perkuat, demikian pula dengan kualitas jurnalisme dan profesionalisme perusahaan pers. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan kerja multistakeholder."

Di dalam semiotika statement itu, saya tertegun: ketika kemerdekaan pers harus terus menerus diperkuat, adakah pihak yang selalu melemahkan pers? Lantas, adakah situasi dan kondisi yang menghimpit hingga kualitas jurnalisme demikian merosot?

Pers berselingkuh politik

Dimulai tahun 1998, ketika sebelumnya selama puluhan tahun dibelenggu, pers mendapatkan kemerdekaannya. Pada era reformasi ini lahir UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin tidak adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers.

Bersamaan pula era ini Dewan Pers menjadi lembaga independen. Sebelum era ini, Dewan Pers walau pertama kali terbentuk pada 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, namun eksistensinya banci.

Pada era reformasi pula pers tidak lemah, dan sekaligus punya kebebasan yang begitu gilang gemilang.

Hanya saja kemudian datang ironisme, pers berselingkuh dengan prospektif politik seiring era ini mengizinkan hadirnya partai politik baru yang di antaranya ada sejumlah pemilik modal perusahaan pers pimpinan partai politik baru itu. Bersama ini pers direngkuh oligarki media.

Maka perselingkuhan ini yang membuat pers mengenal orientasi politik redaksi bergantung pada orientasi politik oligarki media.

Dan pers yang disusui oleh oligarki media punya semangat tempur menghajar lawan-lawan politik majikannya –pemilik media yang bercokol di partai politik, atau orang dari partai politik yang memiliki media.

Hal ini sangat kental terlihat pada tahun politik jelang pemilihan umum (Pemilu) 2014 dan Pemilu 2019.

Di dekade ini permasalahan politik muncul ketika oligarki media sekaligus ketua umum partai politik berpihak pada kandidat Capres-Cawapres dalam Pilpres. Dukungan ini memengaruhi kepentingan oligarki media.

Setiap perusahaan pers pasti telah menetapkan aturan dan kebijakan yang harus diikuti demi profesionalisme jurnalistik.

Namun aturan atau kebijakan yang ujung-ujungnya mendorong wartawan mengusung kepentingan politik pemilik perusahaan pers, tentulah hal ini aneh bagi profesionalitas jurnalisme. Namun keanehan ini sudah banyak terjadi, maka tidak lagi aneh.

Itulah era di mana pers yang tidak lemah dan mempunyai kekebabasannya, justru jalannya sepoyongan saking kekuatan energi dan potensinya demi partisan pemilik media dalam membentuk citra positif salah satu kandidat dan menyerang kandidat lain.

Dalam masa yang begini, netralitas wartawan sebagaimana diamanahkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1 yang menyatakan bahwa, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk; dipertanyakan masyarakat begitu tajam.

Dan pada tataran ini pula apa yang pernah dicibirkan Michael Jackson, penyanyi dan penulis lagu dari Amerika Serikat 1958-2009, “pers terkadang mengorbankan akurasi, keadilan, dan bahkan kebenaran," terasa relevan.

Pengaruh oligarki media

Dalam idealismenya, pers –meminjam perkataan Adlai E. Stevenson II-- adalah “ibu dari semua kebebasan kita dan kemajuan kita di bawah kebebasan."

Usaha-usaha idealisme ini pula dalam sejarah pers Indonesia abad ke 19 muncullah Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855), Bianglala (Batavia, 1867), dan Berita Betawie (Batavia, 1874).

Hanya saja usaha kebebasan dan kemajuan itu baru masih di taraf menandingi pers berbahasa Belanda dengan menggunakan bahasa Melayu dan Jawa. Juga masih tidak afdol, karena para redakturnya orang-orang Belanda.

Barulah tahun 1907, terbit Medan Prijaji (Bandung, 1907) yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji ini awak redaksinya diisi oleh pribumi dan diterbitkan oleh pengusaha pribumi pula.

Maka Medan Prijaji menjadi satu tonggak sejarah idealisme pers Indonesia merepersentasikan kebebasan berpendapat secara kolektif dan individu.

Saat pemerintahan kolonialisme Belanda sedang kuat-kuatnya membelenggu, Medan Prijaji sudah mendasari konsepsi pers berpihak pada kedaulatan rakyat dan mencerdaskan bangsa.

Pelajaran sejarah pers kita itu sangat diketahui oleh para insan pers untuk memegang teguh idealisme pers.

Sayangnya, kurun dua dekade pascareformasi menghadapkan pers pada oligarki media. Awal dari kurun ini konsentrasi kepemilikan semakin kuat dan memusat, mendesak pers jadi partisan dan cenderung elitis.

Dengan demikian, hak publik untuk tahu sebagai bagian dari kemerdekaan pers mengalami pergeseran makna.

Hadirnya oligarki dengan sumber daya media tidak hanya mengubah landscape bisnis media, namun juga mengubah landskap orientasi politik media.

Oleh karenanya demokrasi yang pada nilai kodratiknya membuka ruang kebebasan menyampaikan pendapat, cuma hiasan retorika karena pers tidak tumbuh menyertai makna kebebasan tersebut. Maka pers menjadi sebuah rezim dalam sosoknya yang kerdil.

Masa kini adalah masa yang demikian berat tantangannya buat pers ketimbang menghadapi pemeritahan kolonial Belada atapun rezim diktaktor,.

Oligarki media memosisikan pers wajib punya sikap partisan, yang juga secara tidak langsung menjadi corong kepentingan politik pemilik media. Dengan adanya reprentasi ini, wartawan pun sebenarnya juga tersubornasi.

Khalayak yang sebelumnya mendelegasikan aspirasinya pada pers, merasa tidak lagi percaya, semacam ada kecemasan dalam pemberitaan hanya dieksploitasi demi kepentingan politik oligarki media.

Dengan demikian, publik sulit menemukan pers yang penuh percaya diri berpihak pada aspirasi khalayak.

Atas pengaruh kekuatan oligarki media pula bahwa kekuatan pers sebagai pilar demokrasi menjadi goyah. Kemampuan untuk menyampaikan berita yang berimbang karenanya tidak maksimal.

Maka pers tidak bisa diandalkan mengakomodasikan aspirasi publik dengan segala harapannya. Lantaran pers tidak netral, tidak melihat perkara yang sama dalam sudut pandang kepentingan publik. Ada jarak, ada pergeseran komitmen.

Proaktif Dewan Pers

Dengan nilai kodratiknya Dewan Pers sebagai lembaga independen, maka harapan publik berlimpah ruah agar lembaga ini terus memainkan perannya semakin proaktif untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia.

Mengembangkan dan melindungi kehidupan pers tidak sebatas santi aji, karena pekerjaan rumah Dewan Pers begitu bertumpuk menyangkut kemerdekaan pers yang bergeser ke orientasi politik dan profesionalitas jurnalisme yang terkungkung oligarki media untuk dicarikan solusinya.

Oleh karena itu, pergeseran ke orientasi politik, serta persentuhan pers dengan oligarki media, ketika terjadi konflik jurnalistik membuat Dewan Pers tidak sekadar memakai wewenangnya untuk menyelesaikan sengketa, melainkan turut menghidupkan nafas demokrasi.

Dalam demokrasi yang hidup, pers punyai kebebasan menyampaikan informasi sambil memberikan umpan balik atas setiap pertukaran gagasan di tengah masyarakat.

Konflik yang terjadi harus dilihat sebagai bagian pertukaran gagasan secara keras, tapi ini menumbuhkan budaya intelektual untuk meningkatkan kecerdasan bangsa.

Dengan asumsi ini pers yang tidak berselingkuh politik dan lolos dari kungkungan oligarki, walau ia kecil ketika terbentur konflik jurnalistik masih bisa berhaharap ada hakim pelindung yang adil bernama: Dewan Pers.

Pers yang tidak berselingkuh politik dan lolos dari kungkungan oligarki media, biasanya memang “pers kecil” dan menyampaikan informasi begitu tajam.

Sudah seharusnya pers tidak punya keberpihakan politik demi tujuan berbangsa dan bernegara agar publik tidak dibutakan informasi, itu idealnya.

Maka Dewan Pers berkewajiban memberi “penyuluhan” dengan sabar agar pers tidak berpihak pada kepentingan politik dan tidak pula bersikap partisipan. Bakal ada begitu banyak hal dan informasi yang bisa diserap masyarakat sebagai bagian pencerahan.

Dewan Pers di bawah kepemimpinan Dr. Ninik Rahayu, SH, MS bersama para anggota yang menyertainya, mampu berperan lebih signifikan lagi. Pembentukan Dewan Pers dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM.

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/18/11004651/pekerjaan-rumah-dewan-pers-pada-tahun-politik

Terkini Lainnya

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke