Sebelum kontroversi Masjid Al Jabbar, Kang Emil lebih dulu berurusan dengan Nadhlatul Ulama Jawa Barat.
Dengan hitung-hitungan menarik simpati kelompok pertama, keluarlah pernyataan bahwa pemerintah daerah telah mengeluarkan uang sebesar satu triliun rupiah kepada kelompok Nadhliyin di Jawa Barat.
Dengan kelompok kedua, Kang Emil lebih asertif lagi. Lewat lini massa Twitter dan Instagram, banyak sekali komentar-komentar spontan, nyeleneh, dan lucu yang keluar.
Satu lagi, mungkin Kang Emil yang paling mengerti K-Pop dan Tik Tok dibandingkan calon-calon lain yang berkontestasi di Pilpres 2024 nanti.
Seolah-olah Gubernur Jawa Barat ini representasi milenial, beliau eksis dari dan untuk milenial. Kedekatan Kang Emil tidak hanya ditunjang media sosial, namun layar kaca. Salah satu yang populer mungkin Dilan 1991.
Populisme ala Kang Emil ini punya karakter tersendiri. Saya tidak melihat nuansa otoriter. Ia tidak punya kesan menyerang elite, pun tidak sepenuhnya merepresentasikan mayoritas -seperti populisme politik pada umumnya.
Ia membangun identitas, namun dengan bungkus milenial, bukan agama atau etnis, apalagi gender. Narasi politiknya -seperti dikritik beberapa pengamat politik, terlalu menekankan kontroversi dibandingkan substansi.
Seandainya Kang Emil akan berkontestasi di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 dengan jurus-jurus “populis” tadi, beliau patut diperhitungkan sebagai penantang serius atau alternatif Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat itu.
Namun Pilpres 2024 sudah bukan eranya populisme. Saya memprediksi kita akan masuk ke era pascapopulisme.
Ilmuwan politik seperti Yascha Mounk dalam artikelnya di majalah The Atlantic (2021) sudah mengajukan hipotesis bilamana masyarakat dunia mungkin telah mencapai tahap peak dari populisme.
Bacaan Mounk ini terbukti benar di tingkat global. Saya masih yakin gejala-gejala ini akan muncul di kontestasi 2024 nanti.
Di era pascapopulisme, menurut saya, setidaknya ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan calon pemimpin sebelum berkontestasi.
Pertama, rekam jejak manfaat tergolong esensial. Rekam jejak manfaat seorang pemimpin berbeda dengan prestasinya.
Rekam jejak manfaat pasti diuji di ruang publik oleh yang dipimpin, sementara prestasi bisa diklaim dan dipromosikan sendiri oleh si pemimpin.
Sejauh ini Kang Emil lebih sering mempromosikan prestasinya, dibandingkan rekam jejak manfaat kepemimpinannya di Jawa Barat yang -meminjam istilahnya kemarin, dirujak oleh publik.