Salin Artikel

Populisme ala Ridwan Kamil

Dari sisi regulasi, sebenarnya kebijakan Kang Emil di Masjid Al Jabbar tidak salah. Namun dari sisi etika politik, bisa jadi Kang Emil salah langkah.

Membangun rumah ibadah dengan dukungan anggaran daerah lebih dari Rp 1 Triliun, di era pandemi Covid-19 bisa jadi tidak merefleksikan keadilan dan kebijaksanaan seorang pemimpin.

Jawa Barat adalah provinsi dengan populasi penduduk paling besar di Indonesia -sekitar 49 juta jiwa per 2020.

Dari jumlah tersebut, komposisi penduduk Muslim adalah yang paling besar -hampir 97 persen dari jumlah penduduk.

Jumlah masjid di Jawa Barat paling banyak dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia -kurang lebih ada 49.000 bangunan (BPS, 2021).

Kalaupun tetap ngotot ingin membangun masjid, sepertinya di Kabupaten Bogor lebih bermanfaat. Kalkulasinya seperti ini, di Bogor ada 4,8 juta penduduk Muslim, sementara jumlah masjid di sana “hanya” 2.300-an bangunan.

Bandingkan dengan Bandung Raya yang penduduk Muslimnya ada sekitar 5,6 juta jiwa dan jumlah masjidnya ada 5.300-an. Tentu ini masih kalkulasi sederhana, belum mempertimbangkan aspek politik dan ekonomi yang muncul.

Baiknya Kang Emil dan Pemprov Jabar menjelaskan hitung-hitungan manfaat ini ke publik untuk meredam kontroversi.

Pemimpin populis di era pasca-Populisme

Masjid megah tersebut sudah berdiri. Selamat kepada warga Bandung Raya atas masjid barunya, atas ruang publik barunya.

Tentu kita berharap masjid ini bukan cuma sekadar simbol. Namun mesin bagi gerakan-gerakan Islam moderat yang memperkuat toleransi antarmasyarakat di sana. Harapan saya dan mungkin para pembaca, ini legacy Kang Emil dengan Masjid Al-Jabbar.

Namun saya ingin mengkritik Kang Emil lebih jauh lagi. Saya berangkat dari keinginan beliau yang terlihat jelas di publik: ingin menjadi salah satu calon dalam kontestasi Pemilu 2024 nanti -entah menjadi presiden, atau (mengutip banyak hasil lembaga survei) yang paling realistis wakil presiden.

Kang Emil adalah tipe pemimpin populis, seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Layaknya pemimpin populis di seluruh dunia, salah satu gerakan politik Kang Emil bertumpu pada ketokohannya di media sosial.

Di era populisme, ketokohan di media sosial memang penting, dan Kang Emil paham betul soal ini. Klaim-klaim politik beliau lebih banyak menargetkan dua kelompok massa: Islam dan Generasi Milenial.

Sebelum kontroversi Masjid Al Jabbar, Kang Emil lebih dulu berurusan dengan Nadhlatul Ulama Jawa Barat.

Dengan hitung-hitungan menarik simpati kelompok pertama, keluarlah pernyataan bahwa pemerintah daerah telah mengeluarkan uang sebesar satu triliun rupiah kepada kelompok Nadhliyin di Jawa Barat.

Dengan kelompok kedua, Kang Emil lebih asertif lagi. Lewat lini massa Twitter dan Instagram, banyak sekali komentar-komentar spontan, nyeleneh, dan lucu yang keluar.

Satu lagi, mungkin Kang Emil yang paling mengerti K-Pop dan Tik Tok dibandingkan calon-calon lain yang berkontestasi di Pilpres 2024 nanti.

Seolah-olah Gubernur Jawa Barat ini representasi milenial, beliau eksis dari dan untuk milenial. Kedekatan Kang Emil tidak hanya ditunjang media sosial, namun layar kaca. Salah satu yang populer mungkin Dilan 1991.

Populisme ala Kang Emil ini punya karakter tersendiri. Saya tidak melihat nuansa otoriter. Ia tidak punya kesan menyerang elite, pun tidak sepenuhnya merepresentasikan mayoritas -seperti populisme politik pada umumnya.

Ia membangun identitas, namun dengan bungkus milenial, bukan agama atau etnis, apalagi gender. Narasi politiknya -seperti dikritik beberapa pengamat politik, terlalu menekankan kontroversi dibandingkan substansi.

Seandainya Kang Emil akan berkontestasi di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 dengan jurus-jurus “populis” tadi, beliau patut diperhitungkan sebagai penantang serius atau alternatif Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat itu.

Namun Pilpres 2024 sudah bukan eranya populisme. Saya memprediksi kita akan masuk ke era pascapopulisme.

Ilmuwan politik seperti Yascha Mounk dalam artikelnya di majalah The Atlantic (2021) sudah mengajukan hipotesis bilamana masyarakat dunia mungkin telah mencapai tahap peak dari populisme.

Bacaan Mounk ini terbukti benar di tingkat global. Saya masih yakin gejala-gejala ini akan muncul di kontestasi 2024 nanti.

Di era pascapopulisme, menurut saya, setidaknya ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan calon pemimpin sebelum berkontestasi.

Pertama, rekam jejak manfaat tergolong esensial. Rekam jejak manfaat seorang pemimpin berbeda dengan prestasinya.

Rekam jejak manfaat pasti diuji di ruang publik oleh yang dipimpin, sementara prestasi bisa diklaim dan dipromosikan sendiri oleh si pemimpin.

Sejauh ini Kang Emil lebih sering mempromosikan prestasinya, dibandingkan rekam jejak manfaat kepemimpinannya di Jawa Barat yang -meminjam istilahnya kemarin, dirujak oleh publik.

Kedua, komunikasi politik didasarkan pada salah satu: konsisten membangun kedekatan dengan elite politik, atau konsisten mengadvokasi kelompok-kelompok minoritas pada dimensi sosial, politik, dan ekonomi.

Untuk yang pertama, Kang Emil memang cukup giat, namun efektivitasnya belum terlihat. Buktinya, hari ini belum ada partai politik yang cukup serius “melamar” beliau.

Sedangkan untuk yang kedua, saya bisa bilang Kang Emil gagal menarasikan kebijakan-kebijakannya di Jawa Barat, terutama dalam hal membangun toleransi antarumat beragama, membawa kelas menengah bawah di Jawa Barat naik kelas, bahkan mengadvokasi para pengusaha lokal Jawa Barat yang tidak kalah babak belur selama pandemi berlangsung.

Ketiga, opini di grass root cenderung lebih penting dibandingkan opini di media sosial. Selama satu dekade kebelakang, masyarakat Indonesia telah belajar banyak dengan eksistensi buzzer (pendengung) politik dll.

Singkat kata, narasi yang berkembang atau sengaja dibangun di media sosial belum tentu atau makin sulit ditelan mentah-mentah oleh masyarakat.

Menurut saya, tesis ini diperkuat konsistensi gerakan-gerakan masyarakat sipil yang giat mendorong literasi digital.

Faktanya, kondisi Jawa Barat tidak betul-betul merepresentasikan sejumlah konten-konten media sosial Kang Emil.

Investasi yang masuk di Jawa Barat memang yang paling tinggi di Indonesia. Namun ketimpangan si kaya dengan si miskin di Jawa Barat masuk lima besar nasional.

Selain itu, Jawa Barat juga masih belum lepas dari predikat provinsi intoleran. Setidaknya begitu hasil kajian Imparsial dan Setara Institute.

Pada akhirnya, saya ingin katakan, dengan memimpin Jawa Barat di era pandemi Covid-19, sebenarnya Kang Emil patut diperhitungkan untuk memimpin Indonesia di masa depan, dan banyak survei politik yang bisa memvalidasi pernyataan ini. Racikan populisnya saja yang sebaiknya dikurangi.

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/06/06150001/populisme-ala-ridwan-kamil

Terkini Lainnya

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 MiliarĀ 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 MiliarĀ 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke