Namun, survei tersebut berpandangan bahwa dua teater geopolitik: Euro-Atlantik dan Asia-Pasifik akan selalu saling bergantung. Artinya “keretakan” di Euro-Atlantik akan membuat komitmen untuk menjaga keamanan eksternal (Asia-Pasifik) menjadi sulit dijalankan.
Sebaliknya, keberhasilan menjaga ‘keamanan’ di Euro-Atlantik’ akan memberikan kredibilitas bahwa keamanan di Indo-Pasifik dapat dikendalikan.
Jadi, selama Perang Ukraina belum dihentikan, kita akan menyaksikan peningkatan ketegangan geopolitik secara global, dan banyak negara kemungkinan besar akan bergumul dengan beban ekonomi yang berat.
Sebab perang tersebut telah mengacaukan rantai pasokan global dan pasar komoditas dan energi, dengan volatilitas yang berkontribusi terhadap tekanan resesi di ekonomi global pada tahun 2023.
Jadi, tak mengherankan kalau pada Oktober lalu, IMF memperingatkan bahwa kondisi terburuk belum datang untuk ekonomi global, dan banyak negara akan mengalami resesi pada tahun 2023.
Belakangan ini kita menyaksikan pergeseran kekuatan global yang mengarah pada keberpihakan formal baru, sekaligus menghidupkan kembali aliansi sebelumnya.
AS, misalnya, memandang China sebagai aktor kompetitif. Upaya untuk mewujudkan hegemoninya di kawasan Asia–Pasifik, AS kembali menghidupkan jaringan aliansi lamanya.
Anggota aliansinya telah beradaptasi dengan beberapa perubahan. AS terus melakukan hubungan kerja sama keamanan segi empat bersama Australia, India Jepang (Quad), Korea Selatan, Taiwan, dan Australia.
AS juga merawat aliansi pertahanan dan keamanan bersama Australia dan Selandia Baru (ANZUS) yang sudah terbentuk sejak 1951.
Dan mendirikan AUKUS, sebuah pakta keamanan trilateral antara Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat, sejak 15 September 2021.
Semua itu adalah bagian dari strategi AS untuk melawan kekuatan China yang meningkat.
Di sisi lain, China telah menjadi sebuah raksasa baru yang sedang naik daun. Sejak 2013, China menggunakan Belt and Road Initiative (BRI), suatu strategi kebijakan luar negeri untuk meraih pengaruh dunia melalui investasi di infrastruktur. Hingga Agustus 2022, tercatat 149 negara telah mendaftar ke BRI.
Melalui BRI, China mengambil peran kepemimpinan yang lebih besar untuk urusan global sesuai dengan kekuatan dan statusnya yang meningkat. Keberpihakan yang paling baru juga ditunjukkan dengan meningkatnya hubungan China-Arab Saudi.
Dalam lingkungan geopolitik yang ditandai oleh persaingan ketat China-AS, negara-negara lain akan mengejar ‘strategi lindung nilai’ guna melindungi kepentingan mereka dan menghadang pengaruh dari dua kekuatan besar tersebut.
Tren lain yang muncul juga mencerminkan bagaimana negara-negara berupaya menanggapi dunia yang lebih multipolar — mencari 'kesejajaran' berbasis masalah dengan negara-negara yang berpikiran sama atau bergabung dengan koalisi ad hoc pada isu-isu tertentu.
Tatanan global seperti apa yang akan muncul dari semua tren tersebut, tetap menjadi pertanyaan yang belum terpecahkan karena sistem internasional saat ini sudah sangat retak.
Ian Bremmer, kepala firma risiko politik EuroAsia Group, membuat argumen yang meyakinkan bahwa “geopolitik 2023 tidak akan didasarkan pada satu tatanan global, tetapi pada beberapa tatanan yang hidup berdampingan, dengan aktor berbeda yang mengembangkan kepemimpinan untuk mengelola berbagai jenis tantangan”.
Menurut Bremmer, pada 2023, tatanan keamanan global akan dipimpin oleh AS, tatanan ekonomi global akan bergantung pada China, tatanan digital global akan didorong oleh perusahaan teknologi raksasa, sementara tatanan iklim global adalah sudah “multipolar dan multi-stakeholder”.