Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Menyelesaikan Tantangan Geopolitik 2023 dengan ‘Cara Asia’ ala Indonesia

Kompas.com - 29/12/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA kita sedang mengalami perubahan geopolitik dan masuk ke tengah periode yang semakin tak menentu. Melihat tren dan tantangan geopolitik utama tahun 2023, kesan umum yang muncul adalah ketidakpastian.

Mengapa? Alasannya karena sistem internasional kita menjadi semakin terfragmentasi dengan multilateralisme di bawah tekanan yang semakin meningkat.

Ketakpastian sebagai kenormal baru

Ketegangan geopolitik yang meningkat dan volatilitas ekonomi global membuat dunia masuk ke dalam keadaan tidak stabil.

Dampak ekonomi yang mengganggu dari perang di Ukraina masih akan merusak prospek pemulihan ekonomi global dan telah menambah biaya hidup yang dipicu oleh pandemi Covid-19.

Sebagian besar lembaga think tank internasional, perusahaan investasi, dan lainnya melihat ketidakpastian sebagai 'kenormalan baru' geopoliik global.

Laporan The Economist 'The World Ahead 2023' secara ringkas menggambarkan dunia saat ini sebagai "jauh lebih tidak stabil, terguncang oleh perubahan persaingan kekuatan besar, gempa susulan pandemi, pergolakan ekonomi, cuaca ekstrem, dan perubahan sosial dan perubahan teknologi yang cepat" .

Risiko geopolitik utama yang akan mendominasi tahun mendatang adalah semakin intensifnya persaingan antara AS dan China serta konsekuensinya terhadap geopolitik dan ekonomi global.

Pertemuan tatap muka pertama antara Presiden Jo Biden dan Xi Jinping pada November lalu memang menjanjikan penurunan ketegangan. Kedua pemimpin berjanji untuk memperbaiki hubungan yang telah tenggelam ke titik terendah dalam sejarah.

Namun pertemuan tersebut tak mempersempit perbedaan di antara mereka mengenai isu-isu kontroversial yang memisahkan mereka seperti isu Taiwan, sengketa perdagangan, pembatasan teknologi, dan posisi militer.

Prospek hubungan di antara keduanya sama sekali tak pasti, terutama karena pemerintahan Biden telah menghidupkan kembali jaringan aliansi dan kemitraan militernya, baik di Eropa maupun di Indo-Pasifik, dan penolakan China yang tegas kebijakan AS tersebut.

Control Risks, sebuah perusahaan konsultan global, melihat hubungan AS-China sebagai risiko geopolitik terbesar bagi dunia untuk 2023.

Memang ada juga pengamat lain yang tak sependapat dengan itu. Bahkan, mereka tak melihat adanya potensi konflik di antara kedua negara.

Namun, pada kenyataannya, kedekatan AS dan Taiwan akan tetap menjadi titik nyala berbahaya dalam hubungan AS-China.

Selain itu, negara-negara Asia Tenggara khawatir akan pecahnya bentrokan yang tak disengaja di kawasan Laut Cina Selatan, apabila hubungan kedua negara besar itu mengalami kebuntuan.

Perang Ukraina

Perang Ukraina yang sudah berjalan sembilan bulan adalah faktor kritis lain yang akan memengaruhi iklim geopolitik 2023.

Menurut Survei Strategis Tahunan oleh International Institute of Strategic Studies (IISS) yang berbasis di London, invasi Rusia ke Ukraina menandai garis patahan geopolitik, yang memiliki konsekuensi politik dan ekonomi yang membentuk kembali lanskap global.

IISS berpendapat bahwa “perang mendefinisikan kembali keamanan Barat, dapat mengubah Rusia secara mendalam, dan memengaruhi persepsi dan perhitungan secara global”.

Meskipun konflik mengalihkan perhatian Barat dari prioritas strategisnya di Asia Pasifik, hal itu menggarisbawahi bahwa keamanan Eropa tetap menjadi 'kepentingan utama' Barat.

Namun, survei tersebut berpandangan bahwa dua teater geopolitik: Euro-Atlantik dan Asia-Pasifik akan selalu saling bergantung. Artinya “keretakan” di Euro-Atlantik akan membuat komitmen untuk menjaga keamanan eksternal (Asia-Pasifik) menjadi sulit dijalankan.

Sebaliknya, keberhasilan menjaga ‘keamanan’ di Euro-Atlantik’ akan memberikan kredibilitas bahwa keamanan di Indo-Pasifik dapat dikendalikan.

Jadi, selama Perang Ukraina belum dihentikan, kita akan menyaksikan peningkatan ketegangan geopolitik secara global, dan banyak negara kemungkinan besar akan bergumul dengan beban ekonomi yang berat.

Sebab perang tersebut telah mengacaukan rantai pasokan global dan pasar komoditas dan energi, dengan volatilitas yang berkontribusi terhadap tekanan resesi di ekonomi global pada tahun 2023.

Jadi, tak mengherankan kalau pada Oktober lalu, IMF memperingatkan bahwa kondisi terburuk belum datang untuk ekonomi global, dan banyak negara akan mengalami resesi pada tahun 2023.

Keberpihakan formal baru dan bangkitnya aliansi lama

Belakangan ini kita menyaksikan pergeseran kekuatan global yang mengarah pada keberpihakan formal baru, sekaligus menghidupkan kembali aliansi sebelumnya.

AS, misalnya, memandang China sebagai aktor kompetitif. Upaya untuk mewujudkan hegemoninya di kawasan Asia–Pasifik, AS kembali menghidupkan jaringan aliansi lamanya.

Anggota aliansinya telah beradaptasi dengan beberapa perubahan. AS terus melakukan hubungan kerja sama keamanan segi empat bersama Australia, India Jepang (Quad), Korea Selatan, Taiwan, dan Australia.

AS juga merawat aliansi pertahanan dan keamanan bersama Australia dan Selandia Baru (ANZUS) yang sudah terbentuk sejak 1951.

Dan mendirikan AUKUS, sebuah pakta keamanan trilateral antara Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat, sejak 15 September 2021.

Semua itu adalah bagian dari strategi AS untuk melawan kekuatan China yang meningkat.

Di sisi lain, China telah menjadi sebuah raksasa baru yang sedang naik daun. Sejak 2013, China menggunakan Belt and Road Initiative (BRI), suatu strategi kebijakan luar negeri untuk meraih pengaruh dunia melalui investasi di infrastruktur. Hingga Agustus 2022, tercatat 149 negara telah mendaftar ke BRI.

Melalui BRI, China mengambil peran kepemimpinan yang lebih besar untuk urusan global sesuai dengan kekuatan dan statusnya yang meningkat. Keberpihakan yang paling baru juga ditunjukkan dengan meningkatnya hubungan China-Arab Saudi.

Dalam lingkungan geopolitik yang ditandai oleh persaingan ketat China-AS, negara-negara lain akan mengejar ‘strategi lindung nilai’ guna melindungi kepentingan mereka dan menghadang pengaruh dari dua kekuatan besar tersebut.

Tren lain yang muncul juga mencerminkan bagaimana negara-negara berupaya menanggapi dunia yang lebih multipolar — mencari 'kesejajaran' berbasis masalah dengan negara-negara yang berpikiran sama atau bergabung dengan koalisi ad hoc pada isu-isu tertentu.

Tatanan global seperti apa yang akan muncul dari semua tren tersebut, tetap menjadi pertanyaan yang belum terpecahkan karena sistem internasional saat ini sudah sangat retak.

Ian Bremmer, kepala firma risiko politik EuroAsia Group, membuat argumen yang meyakinkan bahwa “geopolitik 2023 tidak akan didasarkan pada satu tatanan global, tetapi pada beberapa tatanan yang hidup berdampingan, dengan aktor berbeda yang mengembangkan kepemimpinan untuk mengelola berbagai jenis tantangan”.

Menurut Bremmer, pada 2023, tatanan keamanan global akan dipimpin oleh AS, tatanan ekonomi global akan bergantung pada China, tatanan digital global akan didorong oleh perusahaan teknologi raksasa, sementara tatanan iklim global adalah sudah “multipolar dan multi-stakeholder”.

Kompetisi ketat AS-China akan menimbulkan implikasi internasional. Sebab negara-negara lain bukan tak mungkin akan terjebak ke dalam polarisasi, pro-AS atau sebaliknya pro-Cina.
Polarisasi seperti itu akan membuat demokrasi di banyak negara disfungsional.

Pasalnya, kelemahan domestik memengaruhi perilaku kebijakan luar negeri mereka dan kemampuan untuk bertindak secara efektif di arena global.

Faktor lain yang berpotensi membahayakan demokrasi adalah munculnya pemimpin populis, baik sayap kanan maupun sayap kiri.

Populisme sayap kanan umumnya diasosiasikan dengan ideologi seperti anti-lingkungan, anti-globalisasi, nativisme, radikalisme, dan proteksionisme.

Populisme sayap kiri, atau populisme sosial, adalah ideologi politik yang menggabungkan politik sayap kiri dan retorika dan tema populis.

Retorika populisme sayap kiri seringkali terdiri dari sentimen anti-elitis, menentang kemapanan dan berbicara untuk “rakyat biasa”.

Tema-tema penting bagi populis sayap kiri biasanya mencakup anti-kapitalisme, keadilan sosial, pasifisme, dan anti-globalisasi.

Memang, dalam dimensi ideologis, keduanya berada di ujung spektrum politik yang berlawanan. Tetapi dalam hal gaya politik, perlakuan terhadap lawan politik, dan taktik yang ingin mereka gunakan untuk mencapai tujuan, keduanya menunjukkan banyak kesejajaran yang dapat dengan tepat diberi label ‘otoriter’.

Jadi, keduanya cenderung bersikap intoleran dan melanggar norma demokrasi di dalam negeri, dan menginginkan kebijakan luar negeri yang merusak multilateralisme.

‘Cara Asia’ mengatasi tantangan geopolitik

Tantangan geopolitik global 2023 memang berat. Namun, sejatinya Indonesia memiliki cara sendiri untuk mengatasinya.

Berbicara pada diskusi panel IISS Shangri-La Dialogue 2022 di Singapura, Juni 2022 lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan bahwa Indonesia telah menemukan caranya sendiri, yaitu “Cara Asia” (Asian Way) untuk mengatasi tantangan geopolitik.

Menurut dia, berdasarkan pengalaman sejarah, bangsa Indonesia, juga Indocina, Filipina, India, dan beberapa negara Asia-Pasifik dapat mengatasi konflik dengan ‘Cara Asia’, yaitu ‘jalan damai.’

Kita tentu sepakat dengan pendapat tersebut. Sebab, ‘Cara Asia’ adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang tercermin dalam ideologi dan dasar negara kita, Pancasila.

Pancasila secara gamblang menekankan nilai kesetaraan, keadilan sosial, gotong royong dan musyarawah untuk mufakat dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah nilai-nilai yang menjadi ‘Cara Asia’ ala bangsa Indonesia.

Cara tersebut sudah terbukti mampu mengatasi berbagai konflik dan perbedaan pandangan di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, juga ketika Indonesia berpartisipasi menyelesaikan konflik di negara lain.

Jadi, jika Indonesia mampu menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan dan cara untuk memperjuangkan dan menciptakan masyarakat yang damai, maka tak mustahil negara-negara di dunia, terutama negara adidaya dunia seperti China dan AS akan mengadopsi cara yang sama untuk bermusyawarah-mufakat demi terciptanya perdamaian global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com