Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akademisi Universitas Andalas Sebut KUHP Baru Cacat Materiil, Tak Ada Pilihan Selain Gugat ke MK

Kompas.com - 07/12/2022, 18:21 WIB
Syakirun Ni'am,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki banyak cacat materiil.

Feri mengatakan, beberapa pasal dalam KUHP baru itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana diketahui, UUD 1945 menjadi acuan bagi undang-undang lain.

“Ya, jadi cacat formilnya, prosedurnya banyak sekali catatannya, (cacat) materiilnya apalagi karena jumlahnya ratusan,” kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/12/2022).

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) itu membeberkan sejumlah pasal KUHP baru yang bermasalah, antara lain terkait kemerdekaan menyampaikan pendapat.

Baca juga: KUHP yang Baru Dinilai Cacat Formil, Tak Penuhi Konsep Partisipasi

Ketentuan dalam hukum pidana baru mengatur pemidanaan terhadap orang yang dinilai menghina penyelenggara negara bisa dipenjara 1 tahun 6 bulan, baik pemerintah maupun lembaga.

Aturan tersebut tertuang dalam Bab V mengenai Tindak Pidana Terhadap Keteertiban Umum, paragraf 2 mengenai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.

Feri menilai hal ini bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.

Menurut Feri, kekuasaan wajib dijalankan. Sementara sifat hak masyarakat dilindungi.

Namun, konsepsi dalam KUHP baru terbalik. Penyelenggara negara justru mendapatkan hak dilindungi sementara warga negara mendapatkan ancaman pidana.

“Nah, kalau ini sudah logikanya sudah muter-muter,” ujar Feri.

Baca juga: KUHP Tak Langsung Berlaku Setelah Diundangkan, Pemerintah Bakal Intensif Sosialisasi 3 Tahun

Ketentuan janggal lainnya adalah keberadaan pasal atau fitnah di media sosial.

Menurut Feri, aturan itu aneh karena jumlah pengguna media sosial begitu banyak. Bahkan, satu orang bisa memiliki dua hingga tiga akun.

Jika aturan tersebut dijalankan, ia mengatakan, bakal menambah persoalan baru. Sebab, orang-orang akan saling melaporkan satu sama lain.

“Orang akan saling dipidana. Padahal kan harus ada upaya yang menurut saya tidak memadamkan kemerdekaan orang menyampaikan pendapat,” kata Feri.

Ia mengungkapkan, sudah menjadi tugas negara melakukan klarifikasi jika suatu unggahan merupakan fitnah atau hoaks.

Baca juga: Komisi III DPR Dukung Penuh RUU KUHP, asalkan...

Untuk itulah, Feri mengatakan, negara membentuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Juru Bicara Presiden, dan Kementerian Sekretaris Negara.

“Itu kan tugas mereka untuk mengklarifikasi dengan bukti-bukti atau data yang lebih lengkap lagi, bukan kemudian mempidanakan warga negara,” ujar Feri.

Selain itu, adalah persoalan penerapan dan sanksi living law yang kemudian dijadikan hukum postif. Menurutnya, hukum yang dituliskan tersebut akan menjadi permasalahan baru dan meluas.

“Itu sebabnya mereka kasih waktu tiga tahun ya untuk mensosialisasikan dan mencoba membangun infrastrukturnya,” kata Feri.

Baca juga: Menteri PPPA Yakin KUHP Baru Tak Tumpang Tindih dengan UU TPKS

Feri mengatakan, untuk merespons KUHP baru, bisa dilakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berbeda dengan uji formil yang waktunya dibatasi maksimal 45 hari sejak KUHP itu diundangkan, uji materiil bisa dilakukan kapan saja.

Menurutnya, secara bangunan konstitusional, untuk membatalkan atau mengganti sebagian undang-undang yang dianggap bermasalah, masyarakat tidak memiliki pilihan selain menggugatnya ke MK.

“Membatalkan sebagian dari isi dan ketentuan undang-undang yang sudah disahkan, ya itu pilihannya hanya ke MK,” ujarnya.

Terkait keberadaan komposisi hakim konstitusi yang independensi dan kredibilitasnya diragukan, ia mengatakan, itu merupakan tanggungjawab hakim tersebut kepada Tuhan.

"Tentu saja hakim konstitusi wajib menjawab keraguan publik ini dengan betul-betul bertindak independen dan tidak mementingkan diri sendiri,” kata Feri.

Baca juga: Hukuman Koruptor dalam KUHP Baru Lebih Ringan Dibanding UU Pemberantasan Tipikor

Sebelumnya, DPR RI resmi mengesahkan RKUHP menjadi Undang-Undang pada Selasa (6/12/2022). Sebagaimana diketahui, pembahasan RKUHP mendapat kritik keras dari berbagai kelompok masyarakat.

Pada 2019 lalu, ribuan orang bahkan turun ke jalan untuk menyampaikan protes dan menolak sejumlah pasal bermasalah dalam RKUHP.

Setelah melalui dinamika yang alot, RKUHP akhirnya disahkan. Meski demikian, sebanyak 12 pasal dalam draf terakhir masih menjadi sorotan. Beberapa di antaranya terkait pasal penghinaan simbol negara, presiden, dan lainnya.

Selain itu, terkait perzinahan atau tinggal bersama bagi laki-laki dan perempuan yang belum menikah, serta larangan penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme.

Baca juga: KUHP yang Baru Dinilai Cacat Formil, Tak Penuhi Konsep Partisipasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com