Feri mengatakan, beberapa pasal dalam KUHP baru itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana diketahui, UUD 1945 menjadi acuan bagi undang-undang lain.
“Ya, jadi cacat formilnya, prosedurnya banyak sekali catatannya, (cacat) materiilnya apalagi karena jumlahnya ratusan,” kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/12/2022).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) itu membeberkan sejumlah pasal KUHP baru yang bermasalah, antara lain terkait kemerdekaan menyampaikan pendapat.
Ketentuan dalam hukum pidana baru mengatur pemidanaan terhadap orang yang dinilai menghina penyelenggara negara bisa dipenjara 1 tahun 6 bulan, baik pemerintah maupun lembaga.
Aturan tersebut tertuang dalam Bab V mengenai Tindak Pidana Terhadap Keteertiban Umum, paragraf 2 mengenai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.
Feri menilai hal ini bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Menurut Feri, kekuasaan wajib dijalankan. Sementara sifat hak masyarakat dilindungi.
Namun, konsepsi dalam KUHP baru terbalik. Penyelenggara negara justru mendapatkan hak dilindungi sementara warga negara mendapatkan ancaman pidana.
“Nah, kalau ini sudah logikanya sudah muter-muter,” ujar Feri.
Ketentuan janggal lainnya adalah keberadaan pasal atau fitnah di media sosial.
Menurut Feri, aturan itu aneh karena jumlah pengguna media sosial begitu banyak. Bahkan, satu orang bisa memiliki dua hingga tiga akun.
Jika aturan tersebut dijalankan, ia mengatakan, bakal menambah persoalan baru. Sebab, orang-orang akan saling melaporkan satu sama lain.
“Orang akan saling dipidana. Padahal kan harus ada upaya yang menurut saya tidak memadamkan kemerdekaan orang menyampaikan pendapat,” kata Feri.
Ia mengungkapkan, sudah menjadi tugas negara melakukan klarifikasi jika suatu unggahan merupakan fitnah atau hoaks.
Untuk itulah, Feri mengatakan, negara membentuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Juru Bicara Presiden, dan Kementerian Sekretaris Negara.
“Itu kan tugas mereka untuk mengklarifikasi dengan bukti-bukti atau data yang lebih lengkap lagi, bukan kemudian mempidanakan warga negara,” ujar Feri.
Selain itu, adalah persoalan penerapan dan sanksi living law yang kemudian dijadikan hukum postif. Menurutnya, hukum yang dituliskan tersebut akan menjadi permasalahan baru dan meluas.
“Itu sebabnya mereka kasih waktu tiga tahun ya untuk mensosialisasikan dan mencoba membangun infrastrukturnya,” kata Feri.
Feri mengatakan, untuk merespons KUHP baru, bisa dilakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berbeda dengan uji formil yang waktunya dibatasi maksimal 45 hari sejak KUHP itu diundangkan, uji materiil bisa dilakukan kapan saja.
Menurutnya, secara bangunan konstitusional, untuk membatalkan atau mengganti sebagian undang-undang yang dianggap bermasalah, masyarakat tidak memiliki pilihan selain menggugatnya ke MK.
“Membatalkan sebagian dari isi dan ketentuan undang-undang yang sudah disahkan, ya itu pilihannya hanya ke MK,” ujarnya.
Terkait keberadaan komposisi hakim konstitusi yang independensi dan kredibilitasnya diragukan, ia mengatakan, itu merupakan tanggungjawab hakim tersebut kepada Tuhan.
"Tentu saja hakim konstitusi wajib menjawab keraguan publik ini dengan betul-betul bertindak independen dan tidak mementingkan diri sendiri,” kata Feri.
Sebelumnya, DPR RI resmi mengesahkan RKUHP menjadi Undang-Undang pada Selasa (6/12/2022). Sebagaimana diketahui, pembahasan RKUHP mendapat kritik keras dari berbagai kelompok masyarakat.
Pada 2019 lalu, ribuan orang bahkan turun ke jalan untuk menyampaikan protes dan menolak sejumlah pasal bermasalah dalam RKUHP.
Setelah melalui dinamika yang alot, RKUHP akhirnya disahkan. Meski demikian, sebanyak 12 pasal dalam draf terakhir masih menjadi sorotan. Beberapa di antaranya terkait pasal penghinaan simbol negara, presiden, dan lainnya.
Selain itu, terkait perzinahan atau tinggal bersama bagi laki-laki dan perempuan yang belum menikah, serta larangan penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme.
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/07/18212321/akademisi-universitas-andalas-sebut-kuhp-baru-cacat-materiil-tak-ada-pilihan