JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Andul Fickar Hadjar mengapresiasi pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebab, setelah sekian lama akhirnya Indonesia punya kitab hukum pidana sendiri.
“Ya bahwa KUHP itu peninggalan kolonial karena itu menjadi sebuah kebutuhan bagi bangsa Indonesia punya KUHP buatan sendiri,” ujar Fickar pada Kompas.com, Selasa (6/12/2022).
Baca juga: Penolak Pengesahan RKUHP Berencana Menginap di DPR, Yasonna: Enggak Usahlah, Enggak Ada Gunanya
Akan tetapi, ia menyayangkan keberadaan beberapa pasal dalam KUHP tersebut.
Menurut Fickar, RKUHP masih meninggalkan masalah terutama soal kepastian hukum. Antara lain, adalah pasal penghinaan pemerintah dan lembaga negara, serta aksi demonstrasi.
Adapun dalam RKUHP disebutkan bahwa pemerintah adalah presiden ditemani calon wakil presiden, dan menteri.
Sedangkan lembaga negara yaitu MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA).
“Pasal ini berlebihan, karena presiden dan pejabat umum itu kan institusi yang memang dibentuk, dan diangkat untuk melayani rakyat,” tuturnya.
“Jadi kalau menerima kritik, pendapat, bahkan penghinaan adalah sebuah konsekuensi dari jabatan,” papar dia.
Dalam RKUHP yang disahkan siang ini, penghinaan pada pemerintah dan lembaga negara diatur dalam Pasal 240 dan 241.
Baca juga: Oknum Paspampres Diduga Perkosa Prajurit Wanita Kostrad Dijerat Pasal 285 KUHP
Kemudian, Fickar juga tak sepakat dengan pasal yang mengatur tentang demonstrasi.
Dia menilai, pemidanaan pada demonstrasi tanpa izin, tak sejalan dengan prinsip demokrasi.
Harusnya, kata Fickar, pemerintah dan DPR hanya memberikan ancaman pidana pada tindakan onar dalam demonstrasi.
“Tidak ditekankan pada (izin) demonstrasinya yang justru menggadai hak demokrasi. Artinya, meskipun demonstrasi itu tidak menimbulkan keonaran, tetapi karena tanpa izin maka tetap dibubarkan juga,” ujarnya.
Adapun aturan terkait demonstrasi tanpa pemberitahuan ada pada Pasal 256 RKUHP, dengan ancaman pidana maksimal 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (maksimal Rp 10.000.000).
Baca juga: Mahfud MD soal KUHP Perlu Diubah: Sudah 77 Tahun Negara Kita Merdeka
Sementara, aturan tentang penghinaan pemerintah dan lembaga negara memiliki konsekuensi pidana yang beragam.