Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 07/09/2022, 13:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan alasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini perlu diubah.

Menurut Mahfud MD, KUHP yang berlaku saat ini adalah peninggalan zaman kolonial Belanda.

Sedangkan masyarakat Indonesia sudah berubah dari masyarakat kolonial menjadi masyarakat nasional, dari masyarakat terjajah menjadi bangsa yang merdeka.

Oleh karenanya, perlu ada hukum yang sesuai dengan ideologi bangsa, pandangan, dan kesadaran hukum. Apalagi, Indonesia sudah merdeka sejak 77 tahun lalu.

"Sudah 77 tahun negara kita merdeka dan kita selalu terus berusaha membuat hukum pidana nasional dalam kitab UU tersebut. Setelah tidak kurang dari 59 tahun, tepatnya sejak tahun 1963, kita mendiskusikan perubahan KUHP," ucap Mahfud saat membuka diskusi publik RKUHP secara daring, Rabu (7/9/2022).

Baca juga: Komisi III DPR Berkomitmen Segera Selesaikan RUU KUHP

Mahfud MD menjelaskan, perubahan KUHP juga sesuai dengan konstitusi Indonesia, di mana pembentukan KUHP nasional merupakan salah satu politik hukum yang pertama yang diperintahkan untuk dibuat.

Hal tersebut tertuang dalam aturan peralihan Pasal 2 UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Beleid menggariskan bahwa semua lembaga dan peraturan kolonial yang masih berlaku, maka tetap berlaku sepanjang belum dibentuk yang baru.

"Artinya, ketika kita menyatakan kemerdekaan pada saat itu, sudah ada perintah konstitusi agar hukum yang berlaku sejak zaman kolonial Belanda segera diganti dengan hukum-hukum yang baru. Dan yang lama hanya boleh berlaku sampai dibentuk hukum yang baru tersebut," ungkap Mahfud.

Baca juga: Merdeka dengan KUHP Nasional

Mahfud MD mengatakan, hukum pidana perlu diganti secara nasional karena hukum adalah pelayan masyarakat di mana hukum itu berlaku.

Karena pelayan, menurutnya, hukum harus memuat isi yang sesuai dengan kehidupan masyarakat di mana hukum itu berlaku.

Artinya, Mahfud MD menekankan jika masyarakat berubah dari masyarakat kolonial menjadi masyarakat nasional, maka hukum juga harus berubah agar sesuai dengan kebutuhan.

"Alhamdulillah, saat ini kita sudah menghasilkan RKUHP yang relatif siap untuk diundangkan. Sudah selama 59 tahun kita terus merancang RKUHP melalui tim yang silih berganti dan mendapat arahan politik hukum dari 7 presiden, sehingga rancangan ini dapat dikatakan sudah siap untuk diberlakukan," ujarnya.

Baca juga: Sejarah KUHP dan Perjalanan Menuju KUHP Baru


Lebih lanjut, Mahfud MD menjelaskan, politik hukum dalam RKUHP bakal menganut dua jalur pengenaan sanksi, yakni sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Dua jalur pengenaan sanksi ini belum diatur di dalam KUHP yang masih berlaku sekarang.

RKUHP juga memberi tempat penting atas konsep restorative justice (keadilan restoratif) yang saat ini mulai menjadi kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

"RKUHP pun mengatur hukum adat sebagai living law yang telah lama diakui menjadi kesadaran hukum masyarakat hukum adat dengan tetap mendasarkan pada prinsip Pancasila, UUD 1945, dan NKRI dengan segala kebhinekaannya," ujar Mahfud.

Baca juga: Pakar Hukum Pidana Sebut RUU KUHP Masih Bernuansa Kolonial

Sebelumnya diberitakan bahwa draf RKUHP terus disorot oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.

Pada versi terbaru, yaitu 4 Juli 2022, draf RKUHP disoroti oleh ICJR karena ada 73 pasal yang dinilai bermasalah.

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan, 73 pasal itu berbeda-beda substansi masalahnya.

"Ada yang concern-nya memang harusnya dihapus, ada yang teknis sampai dengan typo, ada yang sistematisasi antar isi RKUHP sendiri," kata Maidina saat dihubungi Kompas.com, Rabu (10/8/2022).

Adapun daftar-daftar pasal bermasalah itu terdapat di Buku I yang tersebar di lima bab dan Buku II di 12 bab.

Baca juga: Hukuman Pokok dan Hukuman Tambahan dalam KUHP

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke