JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini, Selasa (6/12/2022), bakal mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
Hal itu menjadi salah satu momen yang dinanti karena pembahasan RKUHP sudah sangat panjang. Selain itu, KUHP yang berlaku saat ini dinilai sudah saatnya diganti lantaran masih mengacu kepada hukum pidana yang disusun pada masa kolonial Hindia Belanda.
"Untuk jamnya sedang dikonsultasikan dengan pimpinan," kata Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Senin (5/12/2022).
Baca juga: RKUHP Disahkan Hari Ini, Tindak Pidana Perkosaan Diatur Lebih Spesifik
Di sisi lain, kelompok koalisi masyarakat sipil terus menyuarakan penolakan dan desakan supaya pemerintah menghapus atau mengubah sejumlah pasal yang dianggap kontroversial dan berpeluang terjadinya kriminalisasi terhadap rakyat.
Sebelumnya, Komisi III DPR bersama pemerintah menyepakati agar RKUHP dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II yang akan dilakukan pada rapat paripurna.
Hal itu diputuskan setelah Komisi III DPR bersama pemerintah menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat I pada 24 November 2022 lalu.
Rapat itu langsung digelar usai Komisi III DPR mengadakan rapat kerja bersama Pemerintah membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RKUHP.
Baca juga: RKUHP, antara Kritik Masyarakat dan Pride Anak Bangsa...
"Apakah naskah RUU tentang KUHP dapat dilanjutkan pada pembahasan tingkat kedua, yaitu pengambilan keputusan atas RUU tentang KUHP yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR RI terdekat. Apakah dapat disetujui?" tanya Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RKUHP, Kamis (24/11/2022).
"Setuju," jawab seluruh fraksi di Komisi III DPR.
Berikut ini kilasan perjalanan pembahasan RKUHP hingga menjelang disahkan DPR melalui keputusan tingkat II dalam rapat paripurna.
Baca juga: RKUHP Disahkan Hari Ini, Berikut 12 Aturan yang Dianggap Bermasalah
KUHP yang diterapkan saat ini merupakan warisan dari masa kolonial Hindia Belanda.
Sumber utama KUHP adalah kitab undang-undang hukum pidana Belanda atau Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch. Kitab itu disusun pada 1881 dan diberlakukan di Negeri Kincir Angin pada 1886.
Aturan hukum itu kemudian diterapkan di Hindia Belanda atas titah raja pada 1 Januari 1918.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, maka pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadopsi KUHP pada masa kolonial melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Hal itu dilakukan demi menghindari terjadinya kekosongan hukum pada saat itu.
Baca juga: RKUHP Disahkan Besok, Komnas HAM Minta Ada Pasal yang Dihapus dan Diperbaiki
Upaya memperbarui KUHP sudah mulai muncul sejak berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada 1958.
Gagasan pembaruan KUHP juga dibahas dalam Seminar Hukum Nasional I pada 1963.
Sejumlah akademisi yang merupakan pakar hukum turut terlibat dalam penyusunan RKUHP. Mereka adalah, Prof Soedarto, Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, Prof Andi Zainal Abidin, Prof Barda Nawawi Arief, Prof Muladi, Prof Mudzakir, dan Chairul Huda.
Baca juga: RKUHP Disahkan Besok, Komnas HAM: Saya Rasa DPR Paham Masih Banyak yang Tak Puas
Beberapa pakar hukum yang menjadi anggota tim penyusun RKUHP bahkan sudah wafat.
Draf RKUHP sebenarnya selesai disusun pada 1993. Namun, pembahasannya terhenti di masa Menteri Kehakiman Oetojo Oesman.
Pembahasan RKUHP kembali dilanjutkan pada masa Menteri Kehakiman Muladi (1998), Menkumham Yusril Ihza Mahendra (2001-2004), dan Hamid Awaluddin (2004-2007).
Upaya membahas dan mengesahkan RKUHP dimulai kembali sejak 2014 oleh DPR.
Rencana pemerintah buat mengesahkan RKUHP pada 2019 sempat menuai penolakan keras dari masyarakat. Hal itu ditandai dengan gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia pada 23-24 September 2019.
Penolakan itu dipicu oleh keberadaan sejumlah pasal di dalam RKUHP yang kontroversial dan berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat.
Hingga menjelang disahkan, kelompok masyarakat sipil menilai RKUHP masih mengandung sejumlah pasal yang bermasalah.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Larangan Unjuk Rasa dalam RKUHP Dievaluasi
Sebanyak 11 pasal yang menjadi sorotan dari koalisi masyarakat sipil adalah:
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Citra Referandum, menilai masih ada pasal karet yang diterapkan dalam RKUHP.
Menurut dia, draf RKUHP terbaru yang bertanggal 30 November 2022 masih menyimpan pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan demokrasi.
Baca juga: Mahfud Sebut Pengesahan RKUHP Sudah Sesuai Prosedur
Salah satunya soal larangan menyebarkan paham komunisme atau marxisme dan leninisme.
“Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di Orde Baru,” ujar Citra.
Kemudian, Ketua Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rizaldi menyoroti pasal yang mengatur ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana HAM berat dalam RKUHP.
Misalnya, kejahatan genosida di UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dipidana penjara paling singkat 10 tahun, tetapi di Pasal 598 dan 599 RKUHP diatur menjadi 5 tahun.
Baca juga: Kontras Soroti Berkurangnya Hukuman Bagi Pelaku Pelanggaran HAM Berat di RKUHP
"Ancaman hukuman tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam RKUHP lebih ringan dibanding ancaman hukuman pelanggaran HAM berat dalam UU Pengadilan HAM," kata Andi.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, tidak mungkin 100 persen masyarakat bisa setuju dengan RKUHP yang akan disahkan.
Akan tetapi, pemerintah menilai KUHP yang ada saat ini harus segera diperbaiki.
"Ini sudah dibahas dan disosialisasikan ke seluruh penjuru Tanah Air, penjuru stakeholder. Kalau untuk 100 persen setuju, tidak mungkin," ucap Yasonna di Gedung DPR.
Menurut dia, KUHP yang ada sudah ortodoks. Sementara itu, RKUHP berisi banyak hal yang lebih bagus bagi masyarakat.
Baca juga: Hendak Disahkan, RKUHP Dinilai Masih Bermasalah
"Dalam KUHP sudah banyak reformatif bagus. Kalau ada perbedaan pendapat sendiri, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK itu mekanisme konstitusional," kata dia.
Malu pakai hukum Belanda Selanjutnya, Yasonna menyampaikan kepada masyarakat yang mendemo RKUHP bahwa Indonesia harus memikirkan perbaikan terkait KUHP.
Sebab, sudah 63 tahun Indonesia menggunakan undang-undang ciptaan Belanda itu.
"Karena apa? Malu kita sebagai bangsa memakai hukum Belanda. Tidak ada pride sebagai anak bangsa saya," kata Yasonna.
Yasonna memaklumi perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat. Ia meminta agar mereka yang masih menolak agar melakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: Pengamat Nilai DPR Buru-buru Sahkan RKUHP demi Cegah Penolakan, Termasuk Demo
"Nanti saya mohon gugat saja di MK. Lebih elegan caranya," kata dia.
(Penulis : Tatang Guritno, Adhyasta Dirgantara | Editor : Icha Rastika, Novianti Setuningsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.