Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Liku-liku RKUHP: Harapan Mengganti Warisan Hukum Kolonial hingga Pro Kontra di Masyarakat

Kompas.com - 06/12/2022, 11:16 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini, Selasa (6/12/2022), bakal mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Hal itu menjadi salah satu momen yang dinanti karena pembahasan RKUHP sudah sangat panjang. Selain itu, KUHP yang berlaku saat ini dinilai sudah saatnya diganti lantaran masih mengacu kepada hukum pidana yang disusun pada masa kolonial Hindia Belanda.

"Untuk jamnya sedang dikonsultasikan dengan pimpinan," kata Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Senin (5/12/2022).

Baca juga: RKUHP Disahkan Hari Ini, Tindak Pidana Perkosaan Diatur Lebih Spesifik

Di sisi lain, kelompok koalisi masyarakat sipil terus menyuarakan penolakan dan desakan supaya pemerintah menghapus atau mengubah sejumlah pasal yang dianggap kontroversial dan berpeluang terjadinya kriminalisasi terhadap rakyat.

Sebelumnya, Komisi III DPR bersama pemerintah menyepakati agar RKUHP dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II yang akan dilakukan pada rapat paripurna.

Hal itu diputuskan setelah Komisi III DPR bersama pemerintah menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat I pada 24 November 2022 lalu.

Rapat itu langsung digelar usai Komisi III DPR mengadakan rapat kerja bersama Pemerintah membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RKUHP.

Baca juga: RKUHP, antara Kritik Masyarakat dan Pride Anak Bangsa...

"Apakah naskah RUU tentang KUHP dapat dilanjutkan pada pembahasan tingkat kedua, yaitu pengambilan keputusan atas RUU tentang KUHP yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR RI terdekat. Apakah dapat disetujui?" tanya Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RKUHP, Kamis (24/11/2022).

"Setuju," jawab seluruh fraksi di Komisi III DPR.

Berikut ini kilasan perjalanan pembahasan RKUHP hingga menjelang disahkan DPR melalui keputusan tingkat II dalam rapat paripurna.

Baca juga: RKUHP Disahkan Hari Ini, Berikut 12 Aturan yang Dianggap Bermasalah

Warisan dari kitab hukum pidana Belanda

KUHP yang diterapkan saat ini merupakan warisan dari masa kolonial Hindia Belanda.

Sumber utama KUHP adalah kitab undang-undang hukum pidana Belanda atau Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch. Kitab itu disusun pada 1881 dan diberlakukan di Negeri Kincir Angin pada 1886.

Aturan hukum itu kemudian diterapkan di Hindia Belanda atas titah raja pada 1 Januari 1918.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, maka pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadopsi KUHP pada masa kolonial melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Hal itu dilakukan demi menghindari terjadinya kekosongan hukum pada saat itu.

Baca juga: RKUHP Disahkan Besok, Komnas HAM Minta Ada Pasal yang Dihapus dan Diperbaiki

Gagasan pembaruan KUHP

Upaya memperbarui KUHP sudah mulai muncul sejak berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada 1958.

Gagasan pembaruan KUHP juga dibahas dalam Seminar Hukum Nasional I pada 1963.

Sejumlah akademisi yang merupakan pakar hukum turut terlibat dalam penyusunan RKUHP. Mereka adalah, Prof Soedarto, Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, Prof Andi Zainal Abidin, Prof Barda Nawawi Arief, Prof Muladi, Prof Mudzakir, dan Chairul Huda.

Baca juga: RKUHP Disahkan Besok, Komnas HAM: Saya Rasa DPR Paham Masih Banyak yang Tak Puas

Beberapa pakar hukum yang menjadi anggota tim penyusun RKUHP bahkan sudah wafat.

Draf RKUHP sebenarnya selesai disusun pada 1993. Namun, pembahasannya terhenti di masa Menteri Kehakiman Oetojo Oesman.

Pembahasan RKUHP kembali dilanjutkan pada masa Menteri Kehakiman Muladi (1998), Menkumham Yusril Ihza Mahendra (2001-2004), dan Hamid Awaluddin (2004-2007).

Upaya membahas dan mengesahkan RKUHP dimulai kembali sejak 2014 oleh DPR.

Sempat picu demo besar

Rencana pemerintah buat mengesahkan RKUHP pada 2019 sempat menuai penolakan keras dari masyarakat. Hal itu ditandai dengan gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia pada 23-24 September 2019.

Banner bertuliskan Protes mahasiswa terpasang di Depan pagar Gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019). Mereka menolak pengesahan RKUHP.KOMPAS.com/M ZAENUDDIN Banner bertuliskan Protes mahasiswa terpasang di Depan pagar Gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019). Mereka menolak pengesahan RKUHP.

Penolakan itu dipicu oleh keberadaan sejumlah pasal di dalam RKUHP yang kontroversial dan berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat.

Sorotan pasal kontroversial

Hingga menjelang disahkan, kelompok masyarakat sipil menilai RKUHP masih mengandung sejumlah pasal yang bermasalah.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Larangan Unjuk Rasa dalam RKUHP Dievaluasi

Sebanyak 11 pasal yang menjadi sorotan dari koalisi masyarakat sipil adalah:

  1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat.
  2. Pasal soal hukuman mati.
  3. Larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila.
  4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
  5. Contempt of court atau penghormatan pada badan peradilan.
  6. Kohabitasi atau hidup bersama di luar perkawinan.
  7. Ketentuan tumpang tindih dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
  8. Larangan unjuk rasa tanpa izin.
  9. Pelanggaran HAM berat.
  10. Ancaman hukum bagi koruptor yang terlalu ringan.
  11. Korporasi sulit dihukum.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Citra Referandum, menilai masih ada pasal karet yang diterapkan dalam RKUHP.

Menurut dia, draf RKUHP terbaru yang bertanggal 30 November 2022 masih menyimpan pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan demokrasi.

Baca juga: Mahfud Sebut Pengesahan RKUHP Sudah Sesuai Prosedur

Salah satunya soal larangan menyebarkan paham komunisme atau marxisme dan leninisme.

“Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di Orde Baru,” ujar Citra.

Kemudian, Ketua Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rizaldi menyoroti pasal yang mengatur ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana HAM berat dalam RKUHP.

Misalnya, kejahatan genosida di UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dipidana penjara paling singkat 10 tahun, tetapi di Pasal 598 dan 599 RKUHP diatur menjadi 5 tahun.

Baca juga: Kontras Soroti Berkurangnya Hukuman Bagi Pelaku Pelanggaran HAM Berat di RKUHP

"Ancaman hukuman tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam RKUHP lebih ringan dibanding ancaman hukuman pelanggaran HAM berat dalam UU Pengadilan HAM," kata Andi.

Argumen pemerintah

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, tidak mungkin 100 persen masyarakat bisa setuju dengan RKUHP yang akan disahkan.

Akan tetapi, pemerintah menilai KUHP yang ada saat ini harus segera diperbaiki.

"Ini sudah dibahas dan disosialisasikan ke seluruh penjuru Tanah Air, penjuru stakeholder. Kalau untuk 100 persen setuju, tidak mungkin," ucap Yasonna di Gedung DPR.

Menurut dia, KUHP yang ada sudah ortodoks. Sementara itu, RKUHP berisi banyak hal yang lebih bagus bagi masyarakat.

Baca juga: Hendak Disahkan, RKUHP Dinilai Masih Bermasalah

"Dalam KUHP sudah banyak reformatif bagus. Kalau ada perbedaan pendapat sendiri, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK itu mekanisme konstitusional," kata dia.

Malu pakai hukum Belanda Selanjutnya, Yasonna menyampaikan kepada masyarakat yang mendemo RKUHP bahwa Indonesia harus memikirkan perbaikan terkait KUHP.

Sebab, sudah 63 tahun Indonesia menggunakan undang-undang ciptaan Belanda itu.

"Karena apa? Malu kita sebagai bangsa memakai hukum Belanda. Tidak ada pride sebagai anak bangsa saya," kata Yasonna.

Yasonna memaklumi perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat. Ia meminta agar mereka yang masih menolak agar melakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Pengamat Nilai DPR Buru-buru Sahkan RKUHP demi Cegah Penolakan, Termasuk Demo

"Nanti saya mohon gugat saja di MK. Lebih elegan caranya," kata dia.

(Penulis : Tatang Guritno, Adhyasta Dirgantara | Editor : Icha Rastika, Novianti Setuningsih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan Lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan Lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com